my THOUGHTS






SPEAK out

"Everyone has the right to freedom of opinion
and expression; this right includes freedom
to hold opinions without interference and to seek,
receive and impart information and ideas through
any media and regardless of frontiers."

- Article 19,
Universal Declaration of Human Rights

AROUND me
Canon EOS 550D | EOS Rebel T2i
Canon EF-S 18-55mm f/3.5-5.6 IS
Canon EF-S 55-250mm f/4-5.6 IS
Adobe Photoshop without effects

Thursday, October 28, 2010

Hati-hati Main Game di Facebook

1:07 PM 10/28/2010, ANTz wrote :

Facebook kembali tersangkut masalah privasi. Investigasi yang dilakukan Wall Street Journal mengungkap bahwa sepuluh aplikasi terpopuler di Facebook, termasuk permainan FarmVille, Texas Hold'Em Poker dan Frontier Ville, menjadi agen utama pembocor identitas pemilik akun kepada pihak lain.

Sekitar 25 perusahaan data dan periklanan menerima data pribadi pemilik akun Facebook dari perusahaan pemilik aplikasi permainan dan fitur-fitur lain yang terdapat dalam media sosial itu. Dengan data itu para pengiklan bisa lebih gampang menyasar individu yang sesuai dengan produk mereka.

Jutaan data pribadi itu, termasuk nama pengguna dan daftar teman mereka di dunia maya, dibocorkan tanpa sepengetahuan para pemilik akun. Diduga puluhan juta pengguna Facebook menjadi korban kebocoran data itu.

Pelanggaran aturan
Kebocoran data itu bisa terjadi bahkan pada pemilik akun dengan pengaturan kerahasiaan maksimum. Pembocoran data itu sebenarnya melanggar peraturan yang dibuat Facebook sendiri dan akan memunculkan pertanyaan tentang kemampuan media sosial itu untuk melindungi informasi tentang penggunannya.


Para pakar keamanan dunia maya mewanti-wanti bahwa data yang bocor bisa digunakan untuk membangun gambaran yang rinci dari kepribadian sesorang seperti minat,lingkungan persahabatan dan keluarga, serta gaya hidupnya.

Banyak yang kemudian mengutuk apa yang mereka sebut 'serangan yang memalukan atas privasi' dan memperingatkan para pengguna Facebook bahwa media itu bukan wilayah 'privat'.

Facebook sendiri mengatakan akan segera mengambil tindakan untuk melumpuhkan semua aplikasi yang melanggar aturan itu. Tahun lalu para pemimpin facebook terpaksa mengubah kembali aturan penggunaannya setelah puluhan ribu penggunanya mengeluhkan pelanggaran atas privasi dan hak cipta karena media sosial itu secara sepihak mengklaim berhak menggunakan foto dan postingan para penggunanya.

with respect,

:> ANTz

read more...

Wednesday, October 27, 2010

Anak-Anak Harus Mengerti

8:00 PM 10/17/2009, ANTz wrote :

Sore menjelang malam, ketika pria paruh baya itu masuk dengan segelas kopi kental di tangan. Ia segera menghidupkan kipas angin, mencari asbak rokok, lalu duduk disamping gue. Sesudah itu ia menghempaskan sebungkus rokok dari kantong celananya ke lantai, mengambil sebatang rokok, menyulutnya, kemudian menghisapnya dalam-dalam...

"Yang udah pusing ga usah ditambah pusing, ya engga Om ?" katanya datar. Gue terkesiap mendengar ucapannya, perlahan meletakkan hanphone lalu mengecilkan suara televisi. Nada bicaranya kontras dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sorot matanya menerawang dalam, seakan ada kegalauan yang sangat dalam di hatinya.

Hampir satu jam berikutnya, gue hanya bisa menjawab dengan satu kata : IYA atau sesekali tersenyum {pahit} mengimbangi kegalauan hatinya. Padahal dalam hati gue tercenung, alangkah kontrasnya antara acara di sebuah stasiun televisi mengenai pencarian jodoh dan topik yang sedang gue baca di hanphone  dengan curhat bapak ini.

"Om kan paling ga udah jadi sahabat saya selama ini, saya cuman butuh doanya, kasihan anak-anak kalau "hal itu" terjadi... mereka pasti bingung..." katanya lirih. Gue hanya menjawab dengan anggukan & sedikit tersenyum pahit. DAN BENAR, kalimat pembukanya yang terlihat lugas dan keras menjadi luntur oleh kalimat terakhirnya yang menutup perbincangan malam ini.

Hujan masih turun dan guntur bersahutan menerangi malam ini. Gue tetap memutuskan untuk pulang... menerobos derasnya hujan. Akh... apakah anak-anak yang HARUS SELALU DIPAKSA menerima "ego kedua orangtua" mereka ? Gue rasa jika mereka tahu dan mengerti kondisi kedua orangtuanya, doa dan kepedihan merekalah yang sanggup menggedor sang Ilahi. Atau pertanyaan-pertanyaan yang nantinya terucap, seperti "dimana Ayah ?" atau "kemana Ibu ?" seharusnya sanggup meluluhkan kekerasana hati kedua orangtuanya. Entahlah...

Gue tak tahu apa yang akan terjadi besok, hanya bisa memenuhi permintaan beliau, berdoa agar keadaan menjadi baik... Gue takkan pernah bisa mengerti, sampai kapan pun... dengan alasan apa pun...

with respect,

:> ANTz

read more...

Tuesday, October 26, 2010

Visi Seorang Kaum Muda

9:08 AM 10/28/2004, ANTz wrote :

Pagi ini, sekitar pukul 08.00 WIB saya sedang menonton TV. Akibat terlalu banyak stasiun TV maka perpindahan channel pun kerap terjadi, hal tesebut dipengaruhi berbagai program acara yang ditayangkan secara bersamaan namun sayang untuk dilewatkan. Nah...biasanya sekitar antara jam 08.00 - 09.00 WIB itu saya selalu punya 3 channel pilihan, yaitu sebuah program talkshow ringan, film kartun anak-anak dari Legenda Tionghoa dan sebuah ajang kompetisi olahraga jalanan. Untuk program pertama biasanya saya lihat dulu topiknya apakah menarik atau tidak, ternyata terlihat nara sumber seorang pemuda yang bisa dipastikan dia seorang mahasiswa karena mengenakan jaket berbau mahasiswa (bukan jaket resmi universitas) dengan logo M di lengan bajunya. Wuaaahh....ini pasti tentang tawuran !!! Tuduh saya dalam hati. Keengganan pun memaksa saya untuk segera beralih kepada kedua acara berikutnya.

Setelah 30 menit kedua program acara tersebut pun usai, saya pun kembali mencoba melirik program talkshow tadi. Hati saya sontak tertarik karena sang presenter menanyakan visi ke depan pemuda bagi sang narasumber ini. (Belakangan saya baru tahu kalau topik hari ini 76 Tahun Sumpah Pemuda). Berikut replika 30 menit tersisa dari acara tersebut melalui sisi ketertarikan saya pribadi.
  • Di program tersebut seperti biasa terdiri dari 2 presenter. Narasumber bisa 1 atau lebih, untuk hari ini 2 orang. Kedua narasumber jelas pemuda dengan penampilan yang agak berbeda, seorang seperti yang saya sampaikan sebelumnya mengenakan wear pack khas mahasiswa sehingga menonjolkan aroma ke-mahasiswa-annya dan yang satunya lagi menyiratkan image seorang muda yang bebas, mengenakan kaos krem berkerah yang didalamnya terlihat kaos oblong putih.
  • Kedua narasumber sama-sama sepakat bahwa harus membuat diri mereka berhasil terlebih dahulu baru nanti kalo ini kalo sudah berhasil memikirkan sekitarnya (dalam bahasa mereka negara).
  • Seorang sosiolog menyatakan tidak benar pendapat bahwa mahasiswa universitas A itu bangga ketika melakukan tawuran dengan mahasiswa dengan universitas B dalam kerangka menjaga nama kampus. Kata beliau sesungguhnya mahasiswa itu bangga ketika kampusnya berprestasi. (saya tidak fakta sesungguhnya, apakah mahasiswa yang tawuran sependapat dengan sosiolog tersebut. Mungkin iya bagi mahasiswa yang enggan tawuran).
  • Terdapat tayangan peristiwa tawuran yang berlatar belakang sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta yang namanya memuat sebuah agama (PT ini cukup sering terlibat tawuran). Juga yang baru-baru ini dimana sejumlah mahasiswa dari perguruan tinggi yang mengkhususkan diri dalam pengajaran agama mengamuk menghancurkan sendiri kampusnya.
  • Selain mereka di lapangan diwawancarai 4 orang mahasiswa yang berbeda dengan pertanyaan apa rencana ke depan. Jawabannya adalah (1) menyelesaikan kuliah, (2) meneruskan cita-cita pendahulu, (3) membangun bangsa negara dengan tidak terjerumus ke narkoba, (4) membangun bangsa karena masih percaya budaya bangsa ini cukup tinggi.
  • Juga terdapat seorang penelpon dari daerah yang menyatakan jangan menggeneralisasi keadaaan pemuda saat ini yang hanya tawuran dan dugem di semua tempat sama. Di desanya, pemuda-pemudi sanggup berkarya dan menghasilkan income yang cukup besar, begitupun di Bandung kata beliau, para pemuda disana ada yang merintis usaha sendiri walaupun orangtua mereka mapan.
  • Narasumber pertama secara tidak langsung mengungkapkan ada perasaaan atau emosi yang lepas ketika tawuran dengan menolak bahwa ketika tawuran mempunyai kehendak untuk melukai.
  • Kedua narasumber saat ini menyadari bahwa tawuran itu tidak ada manfaatnya dan itu sudah menjadi masa lalu. Sekarang bagi mereka adalah segera menyelesaikan kuliah, mencari pekerjaan, berhasil dan membahagiakan kedua orangtua mereka.
Terus terang saya tidak mau menyoroti masalah 76 tahun Sumpah Pemuda, karena bagi saya momen itu menjadi semacam topeng yang mengcover semua momen-momen lain di masa kini atau masa sebelumnya. Doktrinasi yang cukup tinggi terasa di masa sekolah dulu dengan mengagungkan Sumpah Pemuda sebagai titik tolak persatuan. Bagi saya setiap masa, era, dekade atau apalah disebut pasti punya saat yang dinilai historis. Bagaimana dengan Angkatan 66 dimana mereka mengklaim bahwa itu pergerakan mahasiswa menghentikan Orde Lama atau Angkatan 97-98 dengan 12 Mei-nya yang mengklaim bahwa mereka telah merontokkan tirani Orde Baru....atau nanti ketika Angkatan XX berkata memperbaharui Orde Reformasi ??? Apakah yang membedakan momen Sumpah Pemuda dengan momen setelahnya ??? Kenapa tidak ada Sumpah Pemuda jilid II dimana ketika itu semua mahasiswa di seluruh Nusantara ini bersatu tanpa unsur SARA bahkan sampai mengorbankan nyawa ???

Pertanyaan berikutnya adalah sekarang apakah peran pemuda atau jika mau lebih tajam visi pemuda ke depan ? Apakah pemuda harus selalu membuat momen penting seperti Sumpah Pemuda atau 12 Mei 1998 ? ataukah berdemo secara brutal demi eksistensinya ? Sesungguhnya pertanyaan ini yang menjadi inti dari kegelisahan saya selama ini dalam menatap kaum muda di negeri ini.

Faktanya tampilan kaum muda di negara kita adalah hampir mendekati replika talkshow diatas. Coba tengok saja contoh sederhana, yang namanya Indonesia untuk memenangkan Olimpiade Ilmu Pengetahuan, seperti Fisika, Matematika, Kimia, Biologi, dll sekarang ini adalah hal yang biasa. Minimal satu medali dapat diraih putra-putri Indonesia, hebatnya yang terakhir di bidang Astronomi yang notabene tidak ada dalam mata pelajaran di sekolah. Itu prestasi di tingkat SMU ke bawah lho....lalu di tingkat Perguruan Tinggi ke atas ??? hilangkah ??? Paling-paling yang saya dengar hanya Choir kita yang cukup mumpuni...selain itu MAHA siswa kita kerap dituding bisanya hanya demo dan tawuran atau mungkin dugem.

Kenapa bisa begitu yah...? Saya juga bingung.... Jawabannya mungkin ada pada beberapa remaja yang berulang tahun di usia 17 tahun. Apa kata mereka ? Sederhana sekali...saya sudah bisa punya SIM dan KTP. Dengan kata lain mereka bilang saya sudah dewasa...bisa kemana saja !!! Saya menemukan sedikit terang disini. Logikanya ketika masih di tingkat SMU kebawah peranan orangtua dan guru masih terasa, sehingga remaja mempunyai ruang lingkup yang teramat sempit selain belajar. Yah...that it..BELAJAR. Ketika dia lepas dari masa remaja, diukur dari usia (17 tahun) atau memasuki masa kuliah maka tembok-temboknya mulai runtuh. Tidak ada lagi orangtua...tidak ada lagi guru....everything free...man
 
Bagi saya disinilah titik dimana orang mulai mencari jati diri. Interval antara 17 - 24 tahun (batas atas agak relatif) adalah masa lepas. Disini istilah dunia muda sering mengemuka..."kapan lagi mumpung masih muda....!!!". Jadi mulailah masa produktif yang dipaksakan semasa SMU pelan-pelan memudar walaupun tidak seluruhnya untuk beralih menjadi ekspresi kebebasan. Sampai dimana masa akan memaksa mereka kembali untuk menjadi produktif (biasanya dipengaruhi aspek ekonomi, usia dan lingkungan). Makanya jangan heran jika pada interval itu pemuda jarang mempunyai visi, tapi coba tanyalah soal ekspresi.
 
Nah...ekspresi itulah bagi saya yang sedikit banyak melatarbelakangi momen-momen penting diatas, mulai dari Sumpah Pemuda hingga Peristiwa 12 Mei. Kok begitu...??? Dari pengalaman hanya segelintir dari sekian banyak orang ditanya mengapa harus menjatuhkan Orde Baru ??? Jawabannya kebanyakan hanya berupa ekspresi....ekspresi idealisme atau ekspresi kebebasan. Kalaupun ada yang segelintir itu biasanya menjadi sasaran target operasi aparat :). Mereka umumnya visioner yang radikal dengan idealisme (baca polos) tingkat tinggi. Untuk menciptakan hal itu sama seperti snow ball atau bola salju anda cukup menggulirkan sedikit saja salju dari puncak gunung...maka yang lain akan ikut....bukankah begitu ???

Hal ini berbeda dengan kaum tua (tidak menyebut dewasa karena dewasa itu pilihan), ekspresi mereka hampir memudar dibayar dengan realistis kehidupan. Coba tengok politikus kita...sekarang ngomong A, bisa jadi besok bilang Z. Tergantung keadaan saja...tapi sebenarnya ini saya menyebutnya dengan visi masa depan (untuk pribadi tentunya).

Dari satu sisi saya melihat hal-hal diatas tadi....namun mencuplik pernyataan bahwa tidak di semua daerah sama, contohnya di desanya dia kaum mudanya produktif. Jawaban saya itu benar, tapi kita harus melihat dalam situasi kondisinya. Di daerah benar hal itu terjadi bahkan sejak usia remaja mereka sudah mulai berkarya (bekerja). Ini banyak dilatarbelakangi masalah kultur keluarga atau budaya setempat dan ekonomi. Sebagai contoh juragan beras di desa yang memiliki PO misalnya akan "memaksa anaknya" untuk meneruskan PO-nya tersebut atau keluarga buruh tani di desa terpaksa mengerahkan keluarganya untuk menggarap sebidang tanah. Kalau anda di kota besar Jakarta, Bandung, Surabaya dan Makassar anda tidak akan kesulitan menemukan yang namanya pengamen. Lagi-lagi ada faktor-faktor lain yang harus anda lirik bukan ???

So...bagaimana ??? Supaya referensi lebih banyak mari kita melirik ke dunia barat. Di dunia yang sering disebut kapitalis itulah sedikit petunjuk itu berada. Disana setelah high school, kaum mudanya sudah diwajibkan mandiri. Tidak terlepas keluarganya sudah mapan atau belum. It must be !!! Kaum mudanya dipaksa bukan dengan orangtua atau guru tapi dengan keadaan. Kalau anda perhatikan di film-film bertemakan anak muda seperti Madison, Heartbreak High, Dawson Creek atau Beverly Hills terdapat benang merah disana. Ada proses...ya proses mematangkan visi di setiap anak muda. Jadi di masa itu visi dan ekspresi anak berjalan bersamaan, di satu sisi anak muda ingin bebas namun disisi lain mereka harus bertanggungjawab akan hidupnya. Makanya jangan heran jika di film tersebut seringkali terjadi bentrokan antara orangtua dengan anaknya. Namun lihatlah akibatnya di interval yang sama dengan di Indonesia yaitu 17-24 tahun mereka dengan mantap sudah siap menantang hidup. Bahkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan keadaan antara di daerah dan kota seperti Indonesia tidak berlaku di sana. Film Heartbreak High merupakan film dengan latar belakang anak-anak berandalan di Australia sedangkan Beverly Hills diwarnai kehidupan orang kaya di negeri Paman Sam atau Madison yang berada di kehidupan kelompok sosial menengah.

Nah...kalo generasi tua banyak yang bilang tayangan dari dunia barat membawa dampak buruk...well...kita harus melihat dari sudut pandang mana dulu. Di satu sisi benar bahwa banyak dampak buruk dari sana. Namun di sisi lain saya cukup mengkritisi tingkah laku penghuni negeri ini sendiri. Maaf kalau agak kasar...menurut saya bangsa ini tidak mempunyai cukup saringan untuk menerima pengaruh luar. Terus terang bagi di luar negeri Indonesia adalah pasar yang paling potensial, tahu kenapa ? Bukan hanya karena penduduknya banyak tapi ini karena konsumtif tingkat tinggi dan trend maniak yang kebablasan. Jadi jelaslah kalau trend apapun yang berlaku di luar sana akan segera hadir dalam sekejap di negeri ini. Sehingga bagi saya benar apa yang dilakukan Ali Sadikin dengan melegalkan antara WTS atau Porkas (saya lupa) atau Gus Dur yang mencabut Tap MPR soal PKI. Prinsip beliau-beliau ini sangat praktis...Mereka tidak mau mendiskriminasi orang yang buruk untuk selalu menjadi yang paling menderita, tapi memberikan batas-batas dan hak setiap manusia. Jadi seakan-akan mereka bilang ini lho yang engga baik. Wong kalo jelas sudah engga cocok atau salah mbok ya jangan diikutin...Kesimpulannya apa ??? Lagi-lagi maafkan saya bangsa kita mudah dipengaruhi oleh trend. Jika udah jatuh korban gampang saja...abis gara-gara tayangan TV atau korban internet !!! Maka sekali-kali bertanyalah kepada diri kita.

Akhirnya kembali ke pengalaman saya sendiri dimana sering melihat ketiadaan visi atau tujuan dalam diri anak muda Indonesia. Ketika mereka ditanya apa itu sekolah ? Jawabannya sederhana karena disuruh orangtua atau melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Atau kenapa harus kuliah tidak kursus saja ? Mereka pun menjawab untuk mendapatkan gelar atau peluangnya lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan. Ketika mereka terpaksa bekerja mulai usia remaja hingga pemuda sebagai pengamen atau pemulung, mereka hanya menjawab harus mempertahankan hidup tanpa ada yang menamkan mereka bagaimana keluar dari situasi itu.

Dan ketika mereka telah mulai masuk dunia kerja selepas Perguruan Tinggi...jawabannya pun klise mengumpulkan uang untuk menikmati hidup.

Mungkin saya terlalu naif dalam menulis semua ini. Mungkin saja begitu tapi yang saya rasakan alangkah sayangnya jika kita melewati setiap masa hidup kita dengan keterpaksaan atau alasan memang seperti itulah masa muda atau bahkan hanya untuk senang-senang tanpa tahu apa yang telah saya perbuat di masa-masa hidup mulai kanak-kanak, remaja, pemuda, dan tua ada maknanya atau tidak. Saya kerap kali merasa iri kepada anak-anak muda yang memiliki visi hidup yang jelas, terlepas apakah profesi apa yang mereka tekuni. Ada teman perempuan yang melayani jauh di Kalimantan sana walaupun keluarga kurang menyetujuinya, ada yang masuk seminari di malam hari dengan sebelumnya bekerja pagi hari untuk membiayai kuliah tersebut, ada yang rela pontang-panting mengejar beasiswa di luar negeri yang tidak jelas dengan mengorbankan pekerjaannya serta seorang yang dengan pasti masuk sekolah theologia tanpa kepastian membayar dengan apa. Walaupun saya tidak bertanya kepada mereka apa yang menyebabkan hal tersebut, saya tahu ada visi sejati di dalam diri mereka...
Diperuntukkan buat anak-anak muda yang teguh berdiri diatas visi hidup mereka.
 
with respect,
 
:> ANTz

read more...

Saturday, October 23, 2010

Dimana Pialaku ?

8:58 AM 7/5/2009, ANTz wrote :

Ketika itu aku sedang berlari
Berlari... berlari...
dan terus berlari...
Nun jauh disana,
aku melihat sebuah piala
Aku tersenyum, yah... piala itu
Dan aku terus berlari...
Hingga mendapatkannya


Braaaak... Bummmm...
Aku mendapati diriku terpelanting
jatuh hingga terduduk
Aku melihat sekelilingku
Tidak ada... tidak ada... sesuatupun
Sejenak aku terdiam
Akh... mungkin hanya khayalan
Aku melihat pialaku,
bersinar diguyur mentari
Aku kembali bangkit
Duuug... terjatuh
Aku mencoba bangun
Braaaak... kembali jatuh
Dan untuk kesekian kalinya
Bummmm...
Aku terhempas...
terhempas hingga memeluk bumi

Mentari terus berputar
Dan bulan pun datang kembali
Kedua penguasa datang silih berganti
Aku mendapati diriku masih memeluk bumi

Beragam manusia melewatiku
menuju piala mereka masing-masing
Riang raut muka terpancar erat
kaum muda...
kaum paruh baya...
jompo manula...
teruna-teruna...
Bercengkrama, memimpikan asa

Aku masih terbenam disana
gundah gulana memecah langit
merutuki ketidaknyanaan
keluh kesah menggapai Penguasa

Hingga mahluk-mahluk itu datang
mencandaiku, mengajakku bermain...
Di tengah lelapku
aku bermain,
menikmati kembali masa kecilku
Di tengah gundahku
aku bermimpi,
memimpikan bintang di langit
Di mana pialaku ?
Aku tidak melihatnya lagi
Aku tidak peduli lagi

Kami terus bermain
mencari hal-hal baru
berburu petualangan lain
menikmati kegembiraan

Akh... aku melupakan segalanya
Aku terseret dalam kepolosan
Aku terhanyut dalam keluguan

Seakan hari tidak pernah habis

Sampai di satu masa
Aku mendapati diriku
Berdiri...
Berjalan...
Tertatih...

Akh... piala itu kembali terlihat
Beragam manusia berlaku sama
Terhipnotis oleh keberadaan
kedagingan kembali merasuk
Aku ingin berlari...
Berlari... yah.. berlari...
TIDAK, aku tidak ingin berlari lagi
Aku ingin terbang...
benar... terbang
seperti rajawali
perkasa menantang langit

Aku melupakan segalanya
piala itu kembali membiusku
melayang mengawang-awang
melupakan apa yang ada dalam tubuhku
ketidaksempurnaan yang absolut

Aku lupa
bahwa aku bisa terjatuh
Aku lupa
bahwa aku bisa terjerembab
Aku lupa
bahwa aku bisa terkulai

Aku lupa dari semuannya itu
bahwa di dalam kelemahanku
kuasa-Nya menjadi sempurna

Piala itu tetap menggodaku
mengajarku menyadari segala sesuatu
ketenangan adalah senjataku
kesabaran adalah perisaiku
kegembiraan adalah obatku
kelemahan adalah kekuatanku

Saat aku perkasa, aku akan terbang
Saat aku kuat, aku akan berlari
Saat aku lemah, aku akan berjalan
Saat aku sakit, aku akan berdiam

Kemanakah aku dapat pergi
menjauhi sang Penguasa
Jika aku mendaki ke langit,
Engkau ada di sana
Jika aku terbang dengan sayap fajar,
Engkau akan menuntun aku,
Jika aku membuat kediaman di ujung laut,
Engkau memegang aku.

with respect,

:> ANTz

read more...

Wednesday, October 13, 2010

Membentuk Generasi Emas

10:29 AM 4/1/2009, ANTz wrote :

Wuaah.... hari ini gue bangun telat, 9.30 gue baru buka deh. Engga apa-apa  deh lagian anak-anak juga masih pada sekolah. Setelah nyampe gue masih berbengong ria, karena otak blom nyambung. Ternyata sebagian anak-anak engga sekolah, ada try out untuk kelas 6. Ya uwes-lah... gue dapet duit. Berbeda dengan tempat lain, gue buka jam diatas jam 9.00 kecuali hari libur. Alasannya menghindari anak-anak yang cabut sekolah trus singgah di tempat gue. Namun setahun terakhir, gue perhatikan mereka malah keseringan "libur". Ada aja alasannya : ada yang gurunya rapat, kondangan dan lain-lain. Awalnya gue ga percaya, namun setelah diperhatikan emang mereka engga bohong. Misalnya seminggu yang lalu, kalo engga salah hari Kamis, 26 Maret 2009 itu bertepatan tanggal merah. Berdasarkan pengalaman klo udah begitu biasanya hari Jumat pasti libur karena hari Kejepit Nasional dan gue pun datang sekitar jam 8.00. Namun dugaan gue salah anak-anak masuk sekolah. Bagus juga kalo begitu taat aturan. And then besok gue akan buka kembali seperti biasa. Tapi besoknya gue malah bengong, gue malah disamperin ke rumah sama anak-anak sekitar jam 8.00. Ketika sampe tempat, anak-anak itu sebenarnya masuk sekolah cuman ya itu, beragam jawaban keluar dari mulut mereka. Ada yang bilang disekolahnya tidak ada pelajaran trus disuruh pulang cepat, ada yang pelajarannya cuman satu dan akhirnya ada yang jujur bilang males sekolah, percuma engga ada gurunya tutur mereka. Yang gue bingung dengan sekolah yang beragam dan alasan yang berbeda kok hasilnya sama mereka umumnya tidak masuk sekolah.

Seperti juga hari ini, tempat udah penuh. Biasanya sih sekitar jam 11-an abis pulang sekolah. Ternyata sekolah dipake untuk try out kelas 6, jadinya yah engga masuk sekolah. Wuaah... dalam sebulan udah berapa kali anak-anak ini mendapat "tanggal merah". Nah... kebetulan hari ini ada seorang ibu muda yang menemani anak asuhnya. Engga berapa lama kami mengobrol, awalnya dia cerita bahwa anak kandungnya yang sekolah di salah satu SDN di Depok akhir-akhir ini turun nilai raportnya, sulit katanya sekarang untuk anaknya belajar dengan baik di sekolah. Bahkan anaknya nyeletuk bahwa ada gurunya yang tidak memperbolahnya bertanya bila sedang bingung. Wuaalah... opo tenan iki. Yang gue tau selama gue usaha dan sebagian besar berinteraksi dengan anak-anak mereka jarang sekali bohong (sebagian besar usianya dibawah 6 tahun). Terus diceritakan bahwa memang untuk sekarang tidak ada lagi uang sekolah (karena ada dana BOS), namun diperhatikan sejak tidak membayar uang sekolah itu pola belajar, terutama anaknya berubah atau mungkinkah pola belajar mengajar di sekolah ? Si ibu muda ini pun berujar kalo begitu lebih baik saya membayar uang sekolah lagi, biar anak saya bisa belajar dengan lebih baik. Belum lagi beban pelajaran yang dianggap berat untuk anak-anak, terutama pelajaran seperti Komputer atau Bahasa Inggris.

Benar atau tidak, dari obrolan kami menyiratkan benang merah bahwa ada korelasi antara proses belajar mengajar dengan bebas uang sekolah (baca dana BOS). Apakah memang benar dengan adanya dana itu mengurangi kualitas pendidikan ? Gue engga tahu. Hanya saja dari sini gue memperhatikan secara sederhana dari segi kuantitas saja, dalam sebulan mereka sudah kerap libur blom lagi seminggu kedepan akan ada lagi tanggal merah. Sedangkan dari sisi kualitas, gue menelaah bahwa terdapat pola bahwa sekolah (dalam hal ini yang negeri) berusaha menjalankan kurikulum nasional sebaik-baiknya dengan dana yang ada (baca dana BOS) tanpa memperhatikan aspek psikologis anak. Lha siapa yang mo perhatikan psikis anak satu kelas wong gaji aja kurang ? Akhirnya gue memahami bahwa ada kesenjangan antara target kurikulum nasional (beban pelajaran) dengan dana operasional yang tersedia. Korbannya yang gue temui ya itu anak-anak, trus orangtua dan akhirnya guru pun terseret dalam masalah ini. Tapi layakkah mereka dijatuhi batu panas diatas kepalanya ? Jelas tidak.

Tidak ada maksud untuk menggurui para ahli pembuat kurikulum di negeri ini, mungkin benar kurikulum pendidikan nasional sudah baik bahkan teramat baik. Tokh sudah tersedianya Dana Operasional Sekolah, sudah ada Ujian Akhir Nasional yang menjadi standar kelaikan pelajar negeri ini atau seribu indikator lainnya. Bapak atau Ibu bisa sebutkan, namun kami atau paling tidak gue melihat muka suram anak-anak ini. Bukankan sekolah dapat menjadi tempat yang menyenangkan bagi pertumbuhan diri anak bukan hanya sekedar untuk pendidikan formal belaka. Ataukah mereka akan belajar langsung dari lingkungan tanpa ada yang mendampingi. Jadi jangan kaget atau seolah-olah kaget jika di tingkat SMP atau SMU mereka sudah akan membuat genk-genk hanya untuk eksistensi belaka. Eksistensi yang diabaikan di sekolah dan di rumah, namun tokh muncul juga di televisi. :)

Emang gue tidak mempunyai ilmu psikologi, walau begitu gue belajar bahwa paling tidak sampai usia 6 tahun adalah masa penting dalam membentuk kepribadian seseorang. Karena selepas usia itu anak-anak akan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas dan kompleks, mereka akan mempunyai keingintahuan yang meluap-luap. Jadi kalo masih mau liat negeri ini yah...paling engga masih dianggap negara lain, bentuklah Generasi Emas. Sederhananya bukankah Anak Harus Lebih Baik Dari Bapaknya ?

with respect,

:> ANTz

read more...

Tuesday, October 12, 2010

Itulah Hidup

9:18 AM 4/19/2009, ANTz wrote :

Pagi ini, gue duduk di depan rumah seorang teman di daerah Pondok Labu. Orangtua teman meninggal Sabtu malam karena sakit tumor ganas. Meninggal merupakan bagian dari siklus kehidupan manusia, selain kelahiran dan pernikahan. Akan ada tawa dan disana pula tangis mengiringinya, bagai 2 sisi mata uang. 

Seminggu yang lalu, tepatnya hari Senin & Selasa, gue sibuk membenahi kamar-kamar yang ada di rumah orangtua. Banyak barang-barang lama yang gue temui, membangkitkan memori masa lalu. Salah satunya buku Chicken Soup for Soul edisi. Wuaaah... asik juga buat sumber inspirasi. Kalau tidak salah, hari Jumat-nya gue baru punya waktu luang untuk mulai membaca. Gue mendapati kesan yang hampir serupa dari berbagai cerita didalamnya. Mulai dari anak terkena Leukimia, veteran Vietnam dengan kruk di kakinya yang menjadi montir mobil, ibu yang menderita kanker payudara, ayah yang kehilangan anak yang masih muda karena kecelakaan, kakek tua penderita jantung, supir taksi yang profesional sampai seorang gadis muda penderita Paranoid Schizofrenia. Dengan ekspresi yang beragam, semua penulis atau pelaku menunjukkan pesan yang sama. Bagaimana manusia menyikapi hidupnya dan memberi arti seberapa pun pendeknya hidup mereka.

Masih dalam minggu ini, gue kebetulan mendengarkan lagu-lagu karya Giving My Best dalam album Stand Out dan Sidney Mohede dengan albumnya Better Days dan Ada Langit Biru. Dari sekian lagu dalam ketiga album tersebut, ada 3 lagu yang akhirnya sering gue dengerin, bahkan saat gue menulis artikel ini. I love it. Lagu itu berjudul Sampai Batas Waktu (Giving My Best), Batas Akhir dan Masih Ada Langit Biru (Sidney Mohede). Padahal awalnya gue agak engga suka karena dari judul dan liriknya mengandung hal-hal mengenai kematian, kesusahan ataupun ketakutan. Hal-hal yang selama 5 tahun terus menghantui diri gue dan menghilangkan semangat, hanya untuk sekedar hidup. Namun hati gue terlanjur menyukainya, mau apa lagi.

...tatkala gelap mencekam hidupku
ku rasa aman dalam-MU
kubawa hatiku
ombak yg menderu
tak membuat galau hatiku
kutahu, kuselalu mengandalkan-MU...


Yaah... selama 5 tahun, gue dihadapkan pada kondisi yang sama seperti pelaku dalam kisah di buku Chicken Soup for Soul ataupun seperti rangkaian lirik dalam ketiga lagu diatas. Seperti mereka, awalnya gue merasa hidup telah habis di usia 25 tahun. Cita-cita & mimpi telah raib seperti debu ditiup hembusan angin, hilang tak berbekas. Dokter & psikolog melakukan beragam diagnosa, kerabat datang silih berganti memberi semangat, segala macam obat dari yang tradisional sampai non tradisional masuk ke perut sampai buku-buku pembangkit semangat didatangkan....tokh gue tidak beranjak dari sedotan lumpur hidup. Alih-alih bangkit malah gue semakin membangun tembok setinggi langit, memutuskan hubungan dengan dunia di sekitar termasuk keluarga sendiri. Hanya untuk menunjukkan konklusi diri gue sendiri bahwa : "I am finished".

Namun layaknya kisah-kisah dalam Chicken Soup for Soul, gue mengalami transformasi yang serupa. Dan itu dimulai dari hal yang sangat sederhana, anak-anak. Selama 2 tahun kehilangan kontrol akan diri gue, di tahun ketiga gue mencoba memulai sebuah usaha yang dekat dengan anak-anak. Tujuannya sederhana sekedar mengisi waktu ditengah keputus-asaan. Amazing....tiga tahun kemudian atau 5 tahun dari titik dimana gue sakit, berbagai jenis hasil dapat dipetik. Dari segi investasi saja, modal dalam bentuk barang bukannya susut malah nilai jualnya naik dan pendapatan yang disimpan dalam bentuk deposito menghasilkan nilai yang lumayan ketika suku bunga naik. Dari 1 tempat yang mulanya iseng-iseng sempat menjadi 2 tempat walau akhirnya yang lama tutup karena kendala pegawai. Dan yang paling penting, diri gue mengalami perubahan yang luar biasa. Gue menjadi sosok yang sangat menghargai uang sampai nilai yang terkecil :), memahami bagaimana menjalankan usaha hingga akhirnya sangat menghargai orang yang berani berusaha secara mandiri, menjadi sabar menghadapi beraneka karakter orang (pengaruh anak-anak neeh), dan yang terpenting mulai ada mimpi-mimpi yang terselip dalam diri gue :), sesuatu yang hilang selama 5 tahun ini.

Ketika membaca kisah-kisah dalam Chicken Soup for Soul, mendengarkan lagu-lagu dari Giving My Best & Sidney Mohede serta mengenang masa-masa suram dalam hidup gue, untuk kemudian mengarahkannya kepada momen dimana gue berada dalam suasana berkabung saat ini... seperti ada gong yang dipukul di dekat telinga... keras sekali. "Itulah Hidup" begitu suaranya terdengar.

Yah... bagaikan pisau bermata dua "Itulah Hidup" membuat diri gue amat tenang sekaligus muram. Tenang karena setelah mengalami saat-saat menyakitkan dalam hidup, gue kini mempunyai visi dan mimpi yang baru. Visi dan mimpi yang sangat sederhana, dimana gue mulai menikmati hidup tanpa harus ngoyo (bahasa Jawa) mencapainya. Mimpi yang akan terus bergulir walaupun gue telah Mencapai Batas Waktu. Visi yang hanya berkata : "Pengaruhi sekitarmu, buat lebih baik". :) Sekarang, gue selalu mencari jenis usaha yang berdasarkan visi ini. Selama 3 tahun gue telah melaluinya dari hal yang kecil yaitu sekitar lingkungan rumah. Dan mulai bulan April 2009, gue memulainya bersama abang gue dalam konteks yang lebih besar. Tidak tahu berhasil atau tidak, tapi sebuah visi haruslah selalu bersama mimpi karena jika itu gagal anggaplah sebagai mimpi belaka, alias tidak stres :)

"Itulah Hidup" mendatangkan sisi muram dalam diri gue. Ketika hari ini gue berbincang-bincang dengan salah satu pelayat, keluar pernyataan tersebut dari bibirnya. "Itulah hidup, hari ini kita sehat... besok bisa meninggal. Ada yang sakit bertahun-tahun tokh tetap tidak meninggal !!!". Sedih rasanya mendengarkan pernyataan yang terkesan datar. Bukannya apa-apa, kalau setiap orang sudah tahu begitulah kenyataan hidup, pertanyaan-nya adalah apa yang telah dilakukan selama hidupmu ???

Apa yang dibenak orang yang ketika memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak benar atau melakukan janji-janji kosong yang tokh akhirnya menyakiti orang lain hanya untuk kekuasaan atau pengaruh. Hampir semua orang  mengharapkan atau mengejar sesuatu dalam hidupnya apakah itu kekuasaan, ketenaran, harta, kepintaran atau eksistensi diri lainnya. Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiran gue : "Apakah semuanya itu akan selamanya melekat dalam diri kita ?". Ketika dari dalam rumah duka tiba-tiba terdengar tangisan keras yang bersahutan... gue sudah menemukan jawabannya. Tidak ada yang kekal. Hanya kenangan yang ditinggalkan entah sampai berapa lama.

Yah... hidup ternyata sederhana apapun kondisinya. Setiap manusia menjalankan rutinitas yang dipilihnya, ketika mereka jenuh, mudah saja untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan hatinya. Dan siklus hidup terus berputar dari mulai membuka mata hingga akhirnya menutup mata. Dimulai dari tertawa senang hingga akhirnya menangis pilu atau seharusnya dimulai dari tangisan si kecil hingga tawa sang tua meninggalkan sakit yang dideritanya...

Gue hanya terpekur, ketika mendung mulai bergayut diatas rumah duka dan pelayat mulai beranjak dari tempat duduknya. Gue tetap duduk sambil melihat ke langit dan meneruskan menulis, entah bagaimana gue percaya hujan baru akan turun ketika gue pulang ke rumah.

...sampai batas akhir nafasku
dan sampai lenyap detak jantungku
kan kuserahkan seluruh hidupku
dan b'ri yang terbaik bagi-MU...


with respect,

:> ANTz

read more...

Tuesday, October 05, 2010

Siapa Rekan Usaha Anda ?

10:12 AM 3/9/2009, ANTz wrote :

Kadang-kadang agak menggelikan jika mencermati hal ini. Setelah mengalami sakit selama 2 tahun, gue mencoba memulai usaha. Awalnya sekadar untuk membuat diri sendiri mempunyai kegiatan, hanya itu. Di keluarga, gue adalah anak terakhir dari 3 bersaudara yang kesemuanya adalah laki-laki. Dengan modal dari abang tertua, gue mulai mencoba menjalani usaha tersebut. Dengan alasan tersebut di atas, tidak ada perjanjian tertulis tentang uang, terutama pembagian keuntungan. Hanya dengan Gentleman Agreement antara saudara, kami mendasari usaha tersebut. Perjanjiannya sendiri agak sederhana, bahwa semua uang yang dihasilkan tidak boleh ada yang diambil untuk kepentingan pribadi. Sampai saat ini belum ada istilah pembagian saham atau dividen apapun. Bahkan gue sendiri tidak mengambil gaji dari hasil tersebut. Aneh memang, namun kondisi dimana gue masih tinggal bersama orangtua dan belum berkeluarga dapat mewujudkan hal tersebut. Mengenai pengeluaran pribadi lain seperti komunikasi dan refreshing, bisa gue minimalisasi karena kebetulan gue tidak memanfaatkan HP dan hampir tidak pernah keluyuran yang sifatnya wasting money. Sedangkan abang gue, mempunyai pekerjaan tetap sehingga dia pun tidak mengambil uang dari pemasukan yang ada. Pemasukan hanya dikeluarkan untuk kepentingan usaha, seperti biaya sewa tempat, listrik, perbaikan dan belakangan untuk membayar seorang pegawai.

Untuk pembagian pun sederhana, saya yang mengelola keseharian dan apabila memerlukan barang, setiap akhir pekan kami mencarinya bersama-sama. Hampir 3 tahun, kami mengelola usaha kecil ini. Selama kurun waktu itu, selain pemasukan dari segi uang, juga dapat menambah dengan beberapa unit alat. Selain itu sempat membuka tempat baru, walaupun tidak lama karena kendala pegawai.

Baru-baru ini abang gue yang lain, menawarkan merintis usaha. Kondisi dia saat ini, sama seperti abang yang tertua : sudah mempunyai pekerjaan tetap. Jadi gue yang diharapkan mengelola usaha yang baru ini. Gue kembali menyanggupinya. Permasalahan kecil muncul ketika gue menanyakan soal dana investasi. Tidak seperti yang pertama dimana gue tinggal mengelola saja dengan dana yang sudah tersedia. Dengan berterus terang gue menjelaskan bahwa gue tidak mempunyai sepeser pun uang dan tidak mempunyai pemasukan apapun. Memang ada, namun itu adalah semacam dana abadi yang tidak bisa diganggu gugat. Gue tidak akan mengambil bagian karena sudah menjadi bagian dari Gentleman Agreement yang tidak tertulis. Dan dana itu akan diproyeksikan agar dapat menghasilkan sendiri tanpa harus dikelola, dalam artian investasi mandiri.

Ketika abang gue ini bertanya dalam bentuk apa gue akan menerima keuntungan, gue hanya menawarkan keuntungan jangka panjang sama seperti usaha yang telah gue rintis. Hitungan gue amat sederhana, mengapa tidak menekan pengeluaran yang bersifat mubazir, jika dalam kurun waktu 3-5 tahun, beberapa usaha yang dirintis telah berkembang menjadi pohon-pohon yang menghasilkan buah ? Selain itu sesungguhnya secara tidak langsung menyatakan bahwa gue ingin mempunyai sebuah usaha keluarga yang kuat.

Pagi ini, secara jernih akhirnya gue belajar bahwa dalam satu keluarga yang sedarah sekalipun tidak menjamin kesamaan karakter dalam menjalani sebuah usaha. Dan dari kesimpulan itu gue mencoba memilahkan karakter apa saja yang menjadi rekan usaha kita.

1. Investor Character
Abang gue yang tertua mempunyai karakter tersebut. Selama bekerja sama dengan dia, gue mengidentifikasi ciri khas yang melekat pada dirinya yaitu seorang investor kebanyakan meluangkan banyak dananya dibandingkan waktunya. Selama usaha yang dijalankan masih mendatangkan keuntungan dari kacamatanya maka pengelola tidak akan banyak berinteraksi dengannya. Seorang investor sejati selain siap mengambil resiko dalam level yang tinggi juga biasanya mempunyai banyak stok rencana investasi (yang diwujudkan dalam jenis usaha). Walaupun dalam aktualnya, dari sekian banyak rencana-rencana tersebut paling hanya 1-
2 saja yang mempunyai endurance kesuksesan yang lumayan panjang. Tokh, kalaupun ada yang gagal atau usaha telah mencapai Break Event POint maka sang investor telah menyiapkan jenis investasi atau usaha baru sesuai kondisi yang dikuasainya.

2. Dominant Character
Abang gue berikutnya merepresentasikan karakter ini. Walaupun baru beberap bulan merencanakan usaha, gue mendapati bahwa ciri khas yang menonjol adalah kemauan yang keras untuk meluangkan waktunya mengurusi seluruh persiapan usaha, mulai dari konsep hingga running process. Rekan usaha seperti ini akan terlebih dahulu menghitung secara cermat peluang usaha yang ada dari dua hal pemasukan dan pengeluaran sebelum melakukan sebuah usaha. Resiko sekecil apapun akan sangat diperhitungkan agar kerugian yang dicapai tidak terlalu besar. Aspek spekulasi akan berada di titik yang rendah pada karakter yang seperti ini. Ke depan, gue melihat karakter yang seperti akan setia dalam satu jenis usaha dan melakukan ekspansi masih dalam jenis usaha yang sama (turunannya), tanpa berencana melakukan diversifikasi.

3. Passive Character
Karakter ini ditemukan dalam diri teman-teman gue. Mungkin karena posisi gue yang sedikit berpengalaman dalam merintis usaha menyebabkan karakter ini jelas terlihat. Teman-teman secara tidak langsung menempatkan diri mereka sendiri dalam posisi yang pasif. Walau usaha yang dirintis hanya dengan modal mengeksploitasi kemampuan atau bakat mereka namun pengalaman menempatkannya dalam posisi tersebut. Minimnya upaya dalam dalam hal visi, dana dan pengalaman menjadi kendala menjalin kerjasama dalam sebuah usaha. Sisi baik yang diperoleh adalah tidak ada intervensi berlebihan dalam meletakkan visi usaha sehingga leluasa mengatur porsi tugas yang menjadi tanggungjawab masing-masing.

4. Balanced Character
Karakter ini sesungguhnya menjadi tipe ideal kerjasama dalam sebuah usaha. Gue sendiri sampai sekarang kesulitan menemukan rekan usaha seperti ini. Faktornya sederhana yaitu kesamaan visi. Kesamaan visi akan mengejawantahkan dirinya menjadi beberapa titik penting dalam usaha, seperti jenis usaha, sumber dana, ketersediaan waktu, metode usaha dan lain sebagainya. Di setiap titik ini nantinya akan tercipta, apa yang gue sebut sebagai balanced effort. Sederhananya ada upaya alami (tanggung jawab) dari setiap orang yang terlibat dalam usaha tersebut alias bahasa antiknya tanggung renteng. Jenis usaha yang digeluti biasanya atas dasar kemampuan atau hobby yang ditekuni.

Anehnya dari sekian karakter yang telah dicoba untuk diidentifikasi, ada keraguan dimana sesungguhnya karakter gue berada. Mungkin, beberapa kondisi yang berbeda menyebabkan gue memerankan karakter yang berbeda pula. Atau bisa saja dicantumkan sebagai adaptive / opportunist character :). Namun, secara pribadi gue tidak merekomendasikan karakter seperti itu karena terlalu sulit untuk mengenali dimana kelebihan dan kekurangannya yang berakibat kita tidak tahu apa yang layak diperoleh dari rekan usaha seperti itu. Penting atau tidaknya tulisan dikembalikan kepada yang pembaca. Tidak ada satu pun teori yang gue ambil dari buku teks manapun. Pengalaman yang dialami, itu yang gue tulis. Tidak lebih.

with respect,

:> ANTz

read more...

 

blog RIGHT

This blog powered by:


Professional template designed by Rohman Abdul Manap
Banner header image and blog modified by antha.ginting

Creative Commons License
Based on a work at karput.blogspot.com,
all contents on this site are LICENSED under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License.

Please email to for copy
and distribute for commercial or non-commercial uses.

and also PROTECTED under:
MyFreeCopyright.com Registered & Protected
protected by Copyscape Online Plagiarism Detector
for detail see Disclaimer.

Thank you for visiting my blog, see ya..

my FRIENDS