07:25 PM 01.30/01/2011, ANTz wrote :
Bagi kita yang sering melakukan submit atau member registering di berbagai situs di internet tentu sudah pernah mendapatkan e-mail ucapan selamat ulang tahun dari situs dimana kita menjadi anggotanya. Misalkan, untuk tahun ini saya mendapatkan email ucapan ulang tahun dari Jobstreet di inbox email saya dan beberapa dari situs lainnya. Nah... baru tahun ini [kuper mode on] saya mengetahui jika Google pun melakukan hal yang sama, NAMUN yang berbeda bukanlah email yang ditujukan ke inbox seperti situs-situs lainnya melainkan melalui gambar yang ditampilkan di search engine Google yang terpampang di hari kita ulang tahun. Wuaah... gue bener-bener baru tahu... Coba liat gambar dibawah ini.
Bagaimana dengan anda ? Jika anda ingin menikmati gambar ucapan ulang tahun dari
Google dan belum tahu caranya, coba cara berikut ini :
- Daftarkan diri anda di Gmail [penyedia layanan email gratis milik Google]
- Saat melakukan pendaftaran isi tanggal lahir anda dengan benar
- Di hari anda ulang tahun login-lah ke Gmail dengan akun anda
- Setelah login, buka jendela baru dan bukalah situs Google
- Anda akan melihat gambar seperti diatas, lengkap dengan nama anda jika anda menyorot gambar tersebut.
Selamat mencoba.... Untuk mbah Gugel, great stuff man... really appreciate that....
with respect,
:> ANTz
read more...
summary only...
2:17 PM 2/2/2009, ANTz wrote :
Hari itu tanggal 31 Desember 2009, sekitar 45 menit menuju pukul 24.00 WIB. Kami duduk lesehan di atas rumput Monas, sebuah ikon bangunan yang menjadi kebanggaan di negeri ini. Langit di atas sana cukup bersahabat, cerah untuk hari yang berada di musim penghujan. Angin malam sesekali menghantam wajah kami.
Di sekitar kami ribuan orang hadir memenuhi tempat tersebut. Tidak ada acara istimewa apapun malam itu, namun antusiasme Malam Tahun Baru telah menjadi daya tarik tersendiri. Mereka berlalu lalang, duduk bercengkrama, bermain aneka permainan hingga tidur pulas di atas hijaunya rerumputan.
Ketika kami sedang mengobrol sambil memperhatikan orang-orang yang hilir mudik di sekitar kami, melintaslah beberapa anak belia (perkiraan gue sekitar 13-15 tahun), diantaranya asyik merokok, seakan seirama dengan tema malam itu : KEBEBASAN. Teman yang duduk di sampingku terlihat takjub melihatnya. "Lihat ! Seusia mereka sudah melakukan hal itu. Menurut gue itu REBEL, Tha !" Begitulah kira-kira ia berkata.
Reee...beeellll...? Karena keterbatasan dalam perbendaharaan bahasa Inggris, gue sempat tergagap.
"Iya... Rebel... Memberontak..." jawabnya.
"Oooh iya... Memberontak..." kata gumam gue pelan.
"Iya, menurut kamu mengapa mereka melakukan hal seperti itu ?" tanyanya lugas.
Dan setelah itu mengalirlah perbincangan mengenai 'rebel'...
...Sebutlah namanya Oji. Ia anak pertama dari 2 bersaudara. Ketika gue mempunyai usaha di dekat rumahnya 4 tahun lalu, ia masih duduk di bangku SDN, kelas 5. Setahun pertama disana perilakunya wajar sesuai anak seusianya, namun memasuki tahun kedua berusaha di daerah itu, mulai terlihat gejala-gejala yang tidak wajar untuk anak seusianya. Anak itu sudah merokok, piercing telinga, serta melawan orangtuanya. Tidak ada yang aneh dengan keluarganya. Mereka bahagia dan berkecukupan. Kasih sayang ? Ibunya sampai bingung apa lagi yang harus dilakukan untuk memenuhi keinginan anaknya. Gue tahu pasti hal itu karena suatu kali ibunya pernah bercerita banyak tentang anak sulungnya tersebut.
Pernah suatu kali, ketika ia berkunjung, gue mendapati Oji dengan salah satu mata lembam kebiruan. Dari cerita anak-anak yang juga teman main Oji diketahui ia mendapat sebuah pukulan dari ayahnya, yah... itupun dipastikan dengan anggukan kepala olehnya saat gue mencoba memastikan hal tersebut. Dan hebatnya ekspresi muka anak itu tidak menunjukkan penyesalan, sirat mukanya malah menunjukkan kemenangan !!! Permintaannya meminta handphone atau motor kelewat berlebihan untuk anak seusianya, membuat kesabaran orangtua hilang dan hingga 'terpaksa' menunjukkan kasih sayang mereka dalam bentuk kekerasan. Tahun terakhir menjelang kepindahan gue dari tempat tersebut, Oji sudah keluar dari sekolahnya. Ia menolak untuk bersekolah dan orangtuanya pun menyerah !!!
Lain lagi tentang seorang Adenk, seorang anak tunggal. Ketika itu ia masih duduk di bangku SMP, kalau tidak salah ia duduk di kelas III. Statusnya ketika itu berpindah-pindah sekolah, sekali waktu di sini, di Jakarta. Saat berikutnya dipindahkan ke Jawa untuk mengendalikan pergaulannya. Apa daya, sekolah di sana pun tidak sanggup menjadikannya lebih baik. Tak lama ia kembali ke sini dan tidak melanjutkan sekolahnya. Kelakuannya tidak mengkhawatirkan dari Oji. Merokok, mabuk miras oplosan, menindik telinga / lidah / bibir, mencuri sandal bermerek untuk kemudian dijualnya dan memalak anak yang lebih kecil adalah perkara biasa. Bahkan mengkonsumsi narkoba bukan hal luarbiasa walau dalam skala kecil. Pernah suatu kali ia bercerita 'asyiknya' berkejar-kejaran dengan ayahnya saat tengah malam buta karena dia tidak mau pulang. Hebatnya saat dikejar itu dia terus menerus mengejek ayahnya dengan berkata : "Dasar loe pincang !!!". Yah pincang, karena salah satu kaki ayahnya tidak berpijak dengan sempurna. Dan dia menceritakan hal itu dengan penuh kepuasan, tertawa bangga, membuktikan bahwa ia berani, berani melawan orang yang tidak lain ayah kandungnya sendiri !!!
Aaakh... dari dua kisah itu, ternyata dalam diri gue juga mengalir darah pemberontak. Dimulai saat masuk di bangku kuliah, gue udah bertekad memanjangkan rambut sebagai simbol perlawanan. Walaupun orangtua tidak pernah menyukai hal itu, gue tidak bergeming. Bahkan kini setelah tidak bekerja di sektor formal, gue kembali melakukan hal yang sama bahkan kini sampai rambut bukan sekedar panjang tapi sampai gimbal. Gue tidak pernah peduli pendapat orang, 'aku adalah aku' begitulah kira-kira bunyinya hehehehe... Dan itu kembali gue tunjukkan dengan ikut turun berdemonstrasi sepanjang tahun 1998. Dosen, orangtua, sahabat bahkan rohaniawan tidak mampu menahan aroma pemberontakan itu. Sampai saat ini pun hal itu masih tersisa, gue mengkonversinya sebagai seorang golput, pilihan yang tidak populer dan sering menimbulkan friksi dengan orang-orang disekitar gue.
Tidak berhenti sampai di situ, di lingkungan rohani, gue pun menjadi pemberontak. Menolak segala formalitas & legalitas menjemukan yang menjadi rutinitas setiap minggunya. Alhasil dalam kurun 5 tahun terakhir, 10 jari di tangan masih terlalu banyak untuk menghitung kehadiran gue di tempat ibadah. Hal terakhir yang PALING memilukan adalah gue secara terbuka mempertanyakan dimana TUHAN ketika gue sakit parah. Mengapa hal itu diijinkan-NYA terjadi dalam diri gue dan merenggut semua harapan & cita-cita gue ? YA, gue marah... gue kecewa...
Yah... benar... Oji bangga atas matanya yang lembam karena di sekolah ia menjadi pecundang sejati. Ia 'disandera' atas 'ketidakmampuannya' mengikuti serangkaian pelajaran yang disampaikan guru-gurunya di sekolah. Ia mengkonversi ketakutannya ketika di sekolah dengan keberaniannya menahan pukulan dari ayahnya dan serangkaian tindakan pemberontakan lainnya. Dan suatu kali gue bertanya kepadanya : "Emang enak Ji ga sekolah ? Bosen, trus ga dapet duit jajan ?" Jawabannya sungguh sederhana : "Enak donk om, kan jadi preman !!"
Yah... benar... Adenk pun bangga akan keberaniaannya saat mempermalukan ayahnya. Bangga karena dengan itu dia bisa berseru kepada 'pertu' [sebutan untuk preman tua di daerah kami] yang sering menindasnya atau senior di komunitas punknya : "Lihat kan bapak gue aja, gue lawan !!! Jadi gue juga
jagoan sama kayak loe !!!".
Dan sangat benar pula jika gue bangga pernah menjadi salah satu orang yang turut berdemonstrasi di era Reformasi 1998. Bangga karena pernah ikut meruntuhkan penguasa terlama di negeri ini, bangga karena MERASA ikut ambil bagian membebaskan rakyat dari lilitan krisis ekonomi dan yang paling membanggakan dari semua itu adalah bisa meringankan beban orangtua gue yang berstatus PNS. Juga benar... gue pernah 'puas' menumpahkan kekecewaan gue terhadap TUHAN atas penyakit yang menimpa diri ini. THIS ME !!! NO BODY STOP ME !!
....
Haaahhh... pertanyaan teman tersebut diatas sepertinya menyadarkan gue bahwa selama hidup ini, gue telah banyak bersentuhan dengan apa yang disebut dengan pemberontakan, termasuk dalam diri ini. Ketika pertanyaan itu dilayangkan, kilas balik kisah-kisah tersebut paling tidak telah merangkai benang merah tentang sesuatu yang dapat menyebabkan seseorang melakukan pemberontakan.
KEKECEWAAN... ya semuanya dimulai dari setitik kekecewaan. Mungkin saja dipicu dari hal-hal yang sepele atau memang cobaan yang maha berat NAMUN apapun itu kondisinya, jika terjadi terus menerus tentu akan menguras ketahanan fisik dan emosional, melemahkan sendi-sendi logika atau nalar dan saat mencapai kadar tertingginya kekecewaan tadi akan bermetamorfosa menjadi akar pahit dalam diri.
Ketiadaan orang-orang terdekat seperti keluarga atau sahabat yang bisa merangkul, mendengarkan dan memahami kondisi seseorang saat menghadapi kekecewaan tersebut akan memperparah kondisi emosi dan logikanya. Alih-alih menjadi solusi pemecahan masalah malah berubah menjadi 'the biggest enemy in my life'. Kenapa ? Sederhana saja seseorang yang dalam kondisi labil SESUNGGUHNYA berharap banyak kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga, sahabat serta orang-orang yang dianggapnya bijaksana seperti guru, rohaniawan, konselor dan lainnya. Namun sayang, kesalahan dalam memahami perasaan seseorang dan cara memperlakukannya justru akan menjadi bumerang bagi orang terdekat tersebut. Bagaimana mungkin mereka yang aku harapkan disaat berat seperti ini malah mereka yang tidak mengerti aku ? Demikian kira-kira ungkapan hatinya.
Ibu Oji pernah berkata : "Oji HARUS tetap sekolah om, bagaimanapun caranya", "Hampir semua maunya diturutin, kurang apa lagi dia ?" dan beberapa kalimat lainnya. Akhh... gue hanya pernah bertanya kepada Oji "Kenapa gak senang sekolah ?" dan sontak dia lantas berceloteh ria tentang apa yang dihadapi setiap hari saat di sekolah. Perbedaan yang sepertinya sepele, namun percayalah ketika seseorang menghadapi masalah, biarkan mereka yang berbicara, tugas kita yang terutama adalah MENDENGAR.
Alhasil, ketika disana-sini tidak ditemui saluran pembuangan, tembokan ratapan, tonk sampah masalah atau apapun itu namanya, disitulah tunas-tunas PEMBERONTAKAN mulai tumbuh. Bagi gue, Oji, Adenk atau orang lain yang pernah mengalami kepahitan, pemberontakan adalah cara terindah yang kami 'anggap benar'. Pemberontakan menyiratkan perlawanan atas ketidakadilan, terutama yang dialami diri sendiri [heheheh... itu menurut gue]. Secara umum pemberontakan adalah penolakan terhadap otoritas, itu yang ditulis Wikipedia. Disana sang kamus online tersebut lebih menekankan pemberontakan yang berhubungan dengan kekuasaan bukan yang bersifat personal, contohnya seperti demonstrasi di era Reformasi 1998 di Indonesia atau People Power yang dipimpin Cory Aquino di Philipina.
Sedangkan jika ditelisik dari segi agama, pemberontakan sudah ada sejak penciptaan alam semesta. Memberontak menjadi sifat yang memisahkan manusia dengan Penciptanya. Di Firdaus-lah manusia melakukan perlawanan pertama kalinya, yang lucunya langsung diperuntukkan bagi Penciptanya sendiri. Bukan lantaran hidup yang kekurangan, tapi karena ketidakpuasan. Ketidakpuasan yang didukung ketidaktahuan menjadi kombinasi yang sempurna untuk menghasilkan kekecewaan.
Pemberontakan yang bersumber dari kepahitan hidup dan kemarahan akan keadaan diri akan lebih membahayakan dibandingkan pemberontakan yang disebabkan kemarahan kepada otoritas kekuasaan [seperti yang dimaksudkan Wikipedia]. Ya... sangat berbeda ketika gue melakukan 'pemberontakan' dalam wujud demonstrasi terhadap kekuasaan Orde Baru dibandingkan ketika gue menumpahkan kekecewaan kepada TUHAN atas penyakit yang gue derita. Pemberontakan kepada negara atau institusi yang tidak memperhatikan aspirasi rakyatnya tidak pernah menimbulkan sakit hati yang mengakar dalam diri. Setelah keadaan membaik, kekecewaan itu serta merta akan memudar. Jadi kekecewaan itu bersumber dari kepedulian yang 'tersisa' terhadap negara di mana gue tinggal. Naah... kekecewaan terhadap TUHAN itulah yang justru sangat menyakitkan, INILAH jawaban dari pertanyaan teman di atas tadi. Sekian tahun gue bergumul dengan penyakit paranoid ini membuat gue sadar berapa besar bahaya akar pahit dalam diri itu, apa yang menyebabkannya, apa manifestasi dari akar pahit itu dan apa yang bisa menyembuhkannya.
Tidak ada akhir yang membahagiakan jika pemberontakan dianggap sebagai manifestasi untuk menyalurkan segala bentuk kekecewaan. Berlari dan terus melakukan perlawanan terhadap orang-orang sekitar hanya berakhir sia-sia. Apa yang terjadi dalam diri gue sungguh luar biasa, hembusan nafas seorang keponakan yang masih balita dan tawa canda anak-anak menyembuhkan kepahitan dalam hitungan bulan. Penyakit yang sesungguhnya ternyata tidak separah yang dibayangkan justru kepahitan, kemarahan, ketakutan atau apapun bentuknya itulah yang membuat gue kehilangan KEHIDUPAN. Mungkin sekelumit kisah nyata berikut bisa turut membawa pencerahan bagi kita.
Pada hari Minggu pagi, 8 November 1987 seorang pria Irlandia, Gordon Wilson, bersama putrinya yang berusia 28 tahun, Marie, pergi menonton pawai di kota Enniskillen di Irlandia Utara. Ketika mereka berdiri di samping sebuah dinding batu sembari menantikan kesatuan prajurit dan polisi Inggris berbaris melewati mereka, sebuah bom dari teroris IRA (Irish Republican Army) meledak di belakang mereka. Enam orang tewas seketika karena ledakan itu. Gordon dan putrinya terkubur beberapa meter di bawah tumpukan batu. Gordon merasakan bahu dan lengannya terluka, tetapi ia tidak dapat bergerak.
Kemudian, ia merasakan ada seseorang menyentuh jari-jarinya.
"Ini Ayah, kan?” bisik Marie.
“Betul, Marie,” sahut ayahnya.
Gordon mendengar suara-suara samar orang-orang yang berteriak kesakitan, kemudian suara yang jauh lebih jelas, yakni teriakan Maria. Ia meremas tangan putrinya kuat-kuat sambil berkali-kali bertanya apakah ia baik-baik saja. Di antara jerit kesakitannya, Marie berkali-kali meyakinkan ayahnya bahwa ia baik-baik saja.
”Ayah, aku sangat mengasihi Ayah,” itulah kata-kata terakhir putrinya yang didengar Gordon. Empat jam kemudian, setelah mereka akhirnya diselamatkan, Marie meninggal dunia di rumah sakit karena mengalami kerusakan parah di otak dan tulang belakang.
Seorang wartawan BBC bertanya kepada Gordon, ”Bagaimana perasaan anda terhadap orang yang memasang bom itu?”
Jawabannya sangat mengejutkan. ”Saya tidak membenci mereka,” sahut Gordon. ”Saya tidak dendam kepada mereka. Kata-kata yang sengit tidak akan menghidupkan putri saya, Marie Wilson kembali. Saya akan berdoa malam ini dan setiap malam agar TUHAN mengampuni mereka.”
Pada bulan berikutnya, banyak orang bertanya kepada Gordon yang pada akhirnya menjadi senator Republik Irlandia tentang bagaimana ia dapat mengampuni tindakan kejam yang didasari kebencian tersebut.
“
Hati saya terluka,” ujar Gordon. “Saya telah kehilangan putri saya, tetapi saya tidak marah. Kata-kata terakhir Marie kepada saya, kata-kata kasih, menumbuhkan kasih saya. Saya menerima anugerah untuk mengampuni melalui kekuatan kasihNya bagi saya. Selama bertahun-tahun setelah tragedi yang merengut nyawa putrinya dan yang juga nyaris merengut nyawanya sendiri itu, Gordon Wilson bekerja tanpa mengenal lelah untuk memperjuangkan kedamaian dan rekonsiliasi di Irlandia Utara sampai akhir hayatnya. [Marie, A Story From Enniskillen, Gordon Wilson Signed]
Pengampunan melepaskan segalanya. Pengampunan membebaskan kita dari belenggu kepahitan yang mengikat kehidupan kita. Pengampunan membawa kedamaian di mana ada perselisihan, membawa pemulihan di mana ada keputusasaan. Pengampunan dapat mengubah kehidupan kita dan mempengaruhi kehidupan orang-orang di sekeliling kita, bahkan mereka yang melukai hati kita sekalipun. Pengampunan adalah pisau bedah yang mencabut akar kepahitan dalam diri kita.
Oji, Adenk atau anak lain seusia mereka, sepertinya sukar memahami arti pengampunan atau memaafkan di masa sulit dalam hidup mereka. Jangankan mereka yang masih muda belia, gue pun kerap mendapati kesukaran yang sama saat kekecewaan menghinggapi diri. Namun bagaimanapun, contoh teladan dan perhatian dari orang-orang terdekat bukan menjadi hal yang mustahil, untuk setidaknya mereka lihat dan rasakan saat kesukaran itu menghimpit. Seperti ketika pelangi terbit setelah usainya hujan atau tanah menjadi subur setelah letusan gunung berapi, setidaknya sedikit contoh nyata jauh lebih berarti dari serentetan petuah bijak nan usang. Pengampunan dimulai dari diri sendiri, mengampuni diri sendiri, belajar menerima keadaan dirinya pun lantas menularkannya ke diri orang lain. Biarkan si pemberontak merasakan hembusan pengampunan...
Dewasa ini tidak sedikit anak-anak seusia Oji atau Adenk telah mengalami kepahitan di usia dini kehidupan mereka. Perceraian, ekonomi, pergaulan, atau setumpuk masalah sosial lainnya menjadi benih-benah yang berpotensi merusak karakter mereka. Jangan kaget jika sekarang ini, tidak sulit untuk menemukan anak-anak yang bersikap apatis atau antisosial terhadap lingkungannya.
with respect,
:> ANTz
read more...
summary only...
10:30 AM 02/07/2010, ANTz wrote :
"
Heran ya... Warung tenda itu selalu ramai" ucap pengemudi taksi yang gue tumpangi. Untuk kesekian kalinya, gue mendengar pernyataan yang serupa saat melintasi jalan raya Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
"Hah !" spontan gue bereaksi.
Gue yang sejak memasuki taksi asyik terpekur dalam lamunan, sontak terkesiap.
"Oh itu, yang jual ketupat pak ? Oh... iya, benar tuh pak" gue bertanya sekaligus mengamini pernyataannya.
Yup, warung tenda itu terletak di sebelah kiri jalan raya Mampang Prapatan jika menuju arah Pasar Minggu. Tepat di perempatan, di seberang KFC Mampang. Warung tenda tersebut menempati halaman depan sebuah toko onderdil motor juga trotoar yang ada didepannya, persis layaknya warung tenda lainnya.
Yang gue tahu, berdasarkan cerita pengemudi taksi yang pernah gue tumpangi sebelumnya, warung tenda tersebut biasanya baru buka sekitar pukul 08.00 dan tutup menjelang subuh. Agak berbeda dengan warung tenda lainnya yang biasanya sudah mulai menempati lapaknya menjelang Magrib. Produk makanan yang dijual pun agak berbeda dan tidak lazim dijual pada malam hari, seperti nasi goreng, mie, pecel lele dan lain sebagainya. Ya... warung tenda tersebut menjual ketupat sayur !!! Makanan yang wara-wiri di kala pagi hari dan sangat jarang ditemui saat malam hari.
Ternyata pengemudi taksi di samping gue, telah memperhatikan usaha tersebut sejak awal berdiri. Terbukti dari ceritanya, ia tahu persis bahwa warung tenda tersebut baru berdiri sekitar setahun. Kondisi 2-3 bulan pertama masih sepi namun setelah itu berkembang pesat dan selalu ramai setiap malam, begitulah tuturnya kepada gue.
Selanjutnya, beliau pun fasih bercerita berbagai hal tentang usaha warung tenda. Tidak mengherankan karena dulunya beliau pernah memiliki usaha warung tenda juga. Menjadi jawaban mengapa 'keramaian warung tenda ketupat sayur' tersebut menarik perhatiannya. Mungkin semacam mimpi yang belum sempat terwujud bagi dirinya.
"Iya, saya dulu sebelum mengemudi taksi, pernah mempunyai warung tenda di perempatan Trakindo, Cilandak, mas..." beliau mulai bercerita masa lalunya.
"Yah... karena ada proyek penataan jalan, saya tergusur. Padahal saat itu pengunjung sudah mulai ramai." keluhnya.
"Ketika proyek tersebut selesai, saya mencoba kembali berdagang, keadaan sudah berubah. Hanya beberapa unit usaha saja yang diizinkan... Itu pun biasanya punya bekingan 'korps' tertentu." jelasnya lugas.
"Oooh, begitu..." gue menggumam.
"Lalu mengapa tidak cari tempat lain, pak ?" kejar gue dengan pertanyaan.
"Akh... benar mas... Pengennya begitu... Tapi bagaimana ya ? Duitnya ga ada tho mas..." suaranya mulai terdengar lirih.
"Emang modalnya besar pak ?" gue bertanya.
Tiba-tiba beliau tertawa renyah, menertawai keadaan dirinya.
"Wuaah... ga besar mas, apalagi model saya yang sudah mempunyai modal gerobak & peralatan. Tinggal nerusin aja. Paling sekitar 3-5 jutaan..." jelasnya seraya memaparkan perhitungannya, seperti bahan baku & sewa tempat.
"Lalu, kenapa tidak diteruskan ? gue mengejarnya dengan pertanyaan.
"Haahh... duitnya itu mas... habis tuk bangun rumah & pinjaman. Itu kenapa saya banting setir menjadi seperti ini." jawabnya.
"Oooh... begitu..." ujar gue pendek.
Gue sempat meragukan alasannya, tapi saat itu gue memutuskan untuk tidak
bertanya lebih lanjut.
"Tapi mas, dulu ada penumpang saya yang menawarkan pinjaman tanpa bunga, cuman saya tolak." beliau meneruskan ceritanya.
"Kenapa pak, kok ga diterima ?" tanya gue.
"Orang itu bilang pakai saja uang saya, nanti kamu kembangin. Tidak apa-apa kalau nanti rugi. Tapi andaikan dalam setahun ada kemajuan, buka sekitar 3-4 cabang lagi. Nanti setelah itu baru keuntungannya kita bagi dua. Wuaah... ta' pikir-pikir, kok yang untung dia. Saya yang kerja keras tiap hari, hasilnya dibagi dua. Dia ga kerja apa-apa, cuma modal 3-5 juta saja, paling kalau rugi tokh sekitar segitu. Kalau 20 jutaan mungkin lain ceritanya." dia memaparkannya dengan lugas.
"Sudah itu setiap hari bawaan kita khawatir mas... Yang namanya duit orang kan, takut kenapa-kenapa. Bagi saya lebih baik dipinjemin dengan bunga, tidak apa-apa. Jadi tidak ada beban dan hutang budi. Tapi kan... mana ada yang kasih pinjaman tanpa jaminan..." lanjutnya.
Gue menanggapinya dengan senyum tipis di bibir.
"Sampai sekarang orangnya masih sering nanya lho, mas..." dia langsung menambahkan.
"Dia orang kantoran ya ?" gue bertanya.
"Iya mas... kantornya di daerah Darmawangsa." jawabnya.
Akhirnya gue mulai bercerita tentang pengalaman gue, baik ketika bekerja sebagai karyawan dan ketika gue merintis usaha. Gue menggambarkan kepadanya bahwa dewasa ini ada tren, orang-orang yang bekerja di kantor ingin memiliki usaha sampingan. Mereka terobsesi oleh penghasilan tambahan tanpa perlu menceburkan diri mengurus usaha. Alhasil modal dalam bentuk uanglah yang digelontorkan, dalam bahasa kerennya 'investasi'. Perhitungannya adalah pendapatan dua buah 'keran', baik itu dari penghasilannya sebagai karyawan ditambah dari usaha sampingannya.
Dan akhirnya kami harus mengakhiri obrolan malam itu...
"Semoga kita bertemu lagi ya, mas..." ujarnya saat gue turun dari taksinya.
"Iya pak... terimakasih ya !" gue berkata.
"Sama-sama mas..." balasnya.
"Usahain duitnya sendiri yaa.. pak !!!" gue setengah berseru sebelum menutup pintu taksinya.
Hufttt... hanya diperlukan 3-5 juta rupiah untuk meneruskan sejumput mimpi di tingkat akar rumput. Sedangkan di luar sana, milyaran hingga trilyunan uang rakyat menguap DENGAN JELAS, hahahaa.... Seandainya negara ini berbaik hati, menyisihkan 1 milyar saja untuk kemudian memecahnya menjadi pinjaman-pinjaman berbunga rendah dengan syarat jaminan minimal, senilai nominal 3, 5 dan 10 juta rupiah untuk kemudian mendistribusikan ke akar rumput MAKA dapat dihasilkan sekitar 100-300 usaha baru. Dimana setiap usaha bisa menyerap 2-5 tenaga kerja. TAPI sayang semua itu hanya 'seandainya', sulit terwujud di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Paling tidak di negara yang bernama Bangladesh, terdapat bank yang melakukan hal seperti itu. Alhasil sang pendirinya diganjar sebuah Nobel, bukti nyata bagi sebuah pengandaian. Bukti nyata yang para pemimpin negeri ini selalu berkata : TIDAK MUNGKIN !!!
with respect,
:> ANTz
read more...
summary only...