Wuaah.... hari ini saya bangun terlambat, bakalan jam 9.30 baru buka nih... Engga apa-apa deh, lagian anak-anak juga masih pada sekolah. Setelah sampai saya masih berbengong ria, karena otak blom nyambung. Whew... tidak beberapa lama kemudian, anak-anak yang biasanya baru datang di siang hari sudah berkumpul di depan pintu. Ternyata sebagian anak-anak hari ini tidak sekolah, ada try out untuk kelas 6 ungkap mereka. Ya sudahlah... rezeki tidak dapat ditolak :).
Berbeda dengan game center yang lain, saya selalu buka diatas jam 9.00 (kecuali hari libur). Alasannya sederhana, menghindari anak-anak yang enggan sekolah terus bersembunyi di tempat saya. Jujur saja, game center adalah salah satu tempat favorit di kalangan anak-anak sekolah untuk membuang kejenuhan dari rutinitas belajar mengajar. Jika diperhatikan setahun terakhir, mereka malah keseringan "libur". Ada saja alasannya: ada yang gurunya rapat, kondangan dan beragam alasan lainnya. Awalnya saya tidak percaya, paling malas saja sekolah, begitu kata hati saya. Namun jika diperhatikan mereka memang tidak berbohong. Misalnya jika di kalendar tanggal merah jatuh pada hari Kamis, biasanya hari Jumat pasti libur karena hari seperti ini, kini dikenal sebagai Hari Kejepit Nasional.
Nah... kebetulan hari ini ada seorang ibu muda yang menemani anak asuhnya bermain di tempat saya. Tidak berapa lama kami terlibat dalam pembicaraan yang terkait dengan fenomena ini.
.
"Sekarang beda dengan jaman kita sekolah dulu, kita harus lebih aktif memperhatikan pendidikan anak daripada melepas sepenuhnya ke sekolah" ujarnya lirih.
"Memang kenapa mbak?", saya lantas bertanya.
.
Berikutnya, ibu ini pun bercerita bahwa anak kandungnya yang sekolah di salah satu SDN di kawasan Depok akhir-akhir ini nilai raportnya turun. Sangat sulit bagi anaknya belajar dengan baik di sekolah. Selain hari-hari yang kebanyakan libur diatas juga bagaimana guru di sekolah mengajar. Bahkan anaknya pernah berujar bahwa sekali waktu ada gurunya yang tidak memperbolehkan bertanya bila sedang bingung. Wuaalah... opo tenan iki. Saya pun tidak bisa begitu saja mempercayai pernyataan tersebut begitu saja. Walaupun benar, bisa saja ada sebab yang harus ditelusuri lebih lanjut.
"Sekarang beda dengan jaman kita sekolah dulu, kita harus lebih aktif memperhatikan pendidikan anak daripada melepas sepenuhnya ke sekolah" ujarnya lirih.
"Memang kenapa mbak?", saya lantas bertanya.
.
Berikutnya, ibu ini pun bercerita bahwa anak kandungnya yang sekolah di salah satu SDN di kawasan Depok akhir-akhir ini nilai raportnya turun. Sangat sulit bagi anaknya belajar dengan baik di sekolah. Selain hari-hari yang kebanyakan libur diatas juga bagaimana guru di sekolah mengajar. Bahkan anaknya pernah berujar bahwa sekali waktu ada gurunya yang tidak memperbolehkan bertanya bila sedang bingung. Wuaalah... opo tenan iki. Saya pun tidak bisa begitu saja mempercayai pernyataan tersebut begitu saja. Walaupun benar, bisa saja ada sebab yang harus ditelusuri lebih lanjut.
Lantas si ibu pun bercerita bahwa untuk sekarang ini tidak ada lagi uang sekolah/SPP, karena sudah ada dana Biaya Operasiona Sekolah (BOS). Namun baginya, sejak tidak membayar uang sekolah tersebut malah pola belajar anaknya berubah. Guru-gurunya sepertinya hanya berusaha menyampaikan seluruh materi yang dibebankan kepadanya atau dengan kata lain sesuai kurikulum yang ada tanpa memperhatikan tingkat kemampuan setiap anak yang berbeda-beda dalam menyerap apa yang diajarkan. Hal ini semakin terasa untuk mata pelajaran tertentu yang dianggap berat oleh anak-anak, seperti Komputer atau Bahasa Inggris.
"Kalau Matematika kan saya masih bisa ngajarin mas, kalau Komputer orang seperti saya mana pernah belajar" tukasnya.
"Lebih baik saya membayar uang sekolah lagi saja, biar anak saya bisa belajar dengan lebih baik, seperti dulu lagi" ujarnya kemudian.
Dan memang benar, anak ibu ini pun ternyata juga disertakan les tambahan agar tidak tertinggal dengan padatnya materi yang diberikan di sekolah sedangkan di sisi lain banyak hari-hari belajar mereka yang terpotong baik dengan tanggal-tanggal merah di kalender atau libur-libur lainnya yang tidak perlu. Bagi dirinya dan suaminya, dengan pendapatan yang ada, tidak ada pilihan lain selain anak tunggalnya ini lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) tingkat Sekolah Dasar (SD) untuk masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri ketimbang harus menanggung mahalnya sekolah di sebuah sekolah swasta.
"Saya lebih baik memaksa anakku ikut les-les tambahan mas!" tandasnya mantap.
"Wuah... kalau seperti ini pola belajar anak yang berubah atau pola belajar mengajar di sekolah yang berubah?" saya bertanya-tanya dalam hati.
Benar atau tidak, dari obrolan kami ada benang merah yang menyiratkan adanya korelasi antara proses belajar mengajar dengan bebas uang sekolah (baca dana BOS). Apakah memang benar dengan adanya dana itu malah mengurangi kualitas pendidikan? Saya tidak tahu, perlu penelitian lebih jauh di tingkat orangtua murid. Hanya saja, saya menelaah bahwa terdapat pola dimana sekolah (dalam hal ini sekolah negeri) berusaha menjalankan kurikulum nasional sebaik-baiknya dengan dana yang ada (baca dana BOS). Apalagi sejak ada UAN, sekolah-sekolah berusaha mati-matian agar seluruh anak didiknya 100% lulus. Apakah ada yang memperhatikan aspek psikologis anak-anak ini? Lalu siapa yang sanggup memperhatikan masalah psikologis setiap anak dalam satu kelas dengan padatnya beban pelajaran yang harus diajarkan? Akhirnya saya memahami bahwa ada kesenjangan antara target kurikulum nasional (beban pelajaran) dengan proses belajar mengajar di sekolah (terutama dalam hal waktu). Tentunya anak-anak usia dini inilah yang akan menanggung betapa beratnya beban pelajaran yang ada. Saat orangtua melihat kondisi yang dialami anaknya di sekolah tentu korps guru pun serta merta terseret dalam masalah ini. Tapi layakkah mereka yang disalahkan dengan kondisi ini? Jelas tidak.
Tidak ada maksud untuk menggurui para ahli pembuat kurikulum di negeri ini, mungkin benar kurikulum pendidikan nasional sudah baik. Tokh, kita sungguh patut bersyukur dengan tersedianya Dana Operasional Sekolah, juga sudah ada Ujian Akhir Nasional yang menjadi standar kelaikan pelajar negeri ini atau berbagai instrumen-instrumen pendidikan bagus lainnya. Namun kami atau paling tidak saya memimpikan sekolah dapat menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan diri anak-anak negeri ini bukan hanya dari segi pendidikan formal belaka yang setelahnya ditentukan diujung ketokan palu UAN, namun juga dari segi pendidikan informal mereka. Aspek psikologis kepribadian, dimana emosi dan mental mereka diusia dini menjadi sisi lain yang menentukan karakter mereka dan karakter bangsa ini di kemudian hari.
Atau akankah kita membiarkan mereka berinteraksi langsung dari lingkungan pergaulan tanpa ada yang mendampingi? Membiarkan mereka mengenal, belajar dan melakukan apa yang mereka lihat di pergaulan tanpa ada pemahaman dasar tentang apa yang terjadi di lingkungan tersebut? Janganlah kaget atau seolah-olah kaget jika di tingkat SMP atau SMU, remaja-remaja negeri ini kerap membuat aksi-aksi yang memprihatinkan.
Tumbuhnya genk-genk yang mengusung nama sekolah yang diikuti tawuran antar sekolah menjadi salah satu contoh bahwa dimata anak-anak muda ini eksistensi itu ada saat anak-anak seusianya takut kepada mereka. Kekuatan fisik dibuktikan di jalanan, bukan kekuatan akal di dalam tembok sekolah atau rumah. Bahkan di dalam tembok sekolah, aksi-aksi kekerasan juga kerap terjadi, per-plonco-an (bullying) menjadi hal yang lazim terjadi tatkala masa pengenalan sekolah setiap awal ajaran baru. Fenomena-fenomena yang sering di-nafi-kan keberadaannya oleh pihak sekolah dan keluarga, namun tokh keberadaannya bisa disaksikan di layar kaca. Apa lagi yang harus ditutupi?
Salah kaprah akan esensi eksistensi di mata anak-anak menjadi contoh sederhana yang patut menjadi pembelajaran bagi dunia pendidikan dan keluarga. Saya tidak mempunyai ilmu psikologi, walau begitu saya banyak belajar, bahwa paling tidak, sampai usia 6 tahun adalah masa penting dalam membentuk kepribadian seorang manusia. Karena selepas usia itu anak-anak akan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas dan kompleks, mereka akan mempunyai keingintahuan yang meluap-luap. Bijak menjadi kunci bagaimana kita bisa menyikapi kondisi tersebut dan dari sanalah kita dapat menentukan bagaimana caranya menumbuhkan tunas-tunas bangsa ini.
Saya percaya, bangsa ini akan berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain ketika mempunyai generasi emas, generasi yang bukan hanya mengandalkan kepintaran otak atau kemampuan diri namun keseimbangan mental dan moralnya. Emas tetap harus dimurnikan dengan api sebelum menjadi perhiasan yang dikagumi keindahannya, pun anak-anak kita harus diajar dalam lingkungan yang tepat, keluarga dan sekolah yang tahu bagaimana memurnikan tunas-tunas bangsa.
with respect,
:> ANTz
Lomba Blog Gerakan Indonesia Berkibar
"Guruku Pahlawanku"
Periode Lomba: 10 September – 12 November 2012
"Guruku Pahlawanku"
Periode Lomba: 10 September – 12 November 2012
0 comments:
Post a Comment