9:08 AM 10/28/2004, ANTz wrote :
Setelah 30 menit kedua program acara tersebut pun usai, saya pun kembali mencoba melirik program talkshow tadi. Hati saya sontak tertarik karena sang presenter menanyakan visi ke depan pemuda bagi sang narasumber ini. (Belakangan saya baru tahu kalau topik hari ini 76 Tahun Sumpah Pemuda). Berikut replika 30 menit tersisa dari acara tersebut melalui sisi ketertarikan saya pribadi.
- Di program tersebut seperti biasa terdiri dari 2 presenter. Narasumber bisa 1 atau lebih, untuk hari ini 2 orang. Kedua narasumber jelas pemuda dengan penampilan yang agak berbeda, seorang seperti yang saya sampaikan sebelumnya mengenakan wear pack khas mahasiswa sehingga menonjolkan aroma ke-mahasiswa-annya dan yang satunya lagi menyiratkan image seorang muda yang bebas, mengenakan kaos krem berkerah yang didalamnya terlihat kaos oblong putih.
- Kedua narasumber sama-sama sepakat bahwa harus membuat diri mereka berhasil terlebih dahulu baru nanti kalo ini kalo sudah berhasil memikirkan sekitarnya (dalam bahasa mereka negara).
- Seorang sosiolog menyatakan tidak benar pendapat bahwa mahasiswa universitas A itu bangga ketika melakukan tawuran dengan mahasiswa dengan universitas B dalam kerangka menjaga nama kampus. Kata beliau sesungguhnya mahasiswa itu bangga ketika kampusnya berprestasi. (saya tidak fakta sesungguhnya, apakah mahasiswa yang tawuran sependapat dengan sosiolog tersebut. Mungkin iya bagi mahasiswa yang enggan tawuran).
- Terdapat tayangan peristiwa tawuran yang berlatar belakang sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta yang namanya memuat sebuah agama (PT ini cukup sering terlibat tawuran). Juga yang baru-baru ini dimana sejumlah mahasiswa dari perguruan tinggi yang mengkhususkan diri dalam pengajaran agama mengamuk menghancurkan sendiri kampusnya.
- Selain mereka di lapangan diwawancarai 4 orang mahasiswa yang berbeda dengan pertanyaan apa rencana ke depan. Jawabannya adalah (1) menyelesaikan kuliah, (2) meneruskan cita-cita pendahulu, (3) membangun bangsa negara dengan tidak terjerumus ke narkoba, (4) membangun bangsa karena masih percaya budaya bangsa ini cukup tinggi.
- Juga terdapat seorang penelpon dari daerah yang menyatakan jangan menggeneralisasi keadaaan pemuda saat ini yang hanya tawuran dan dugem di semua tempat sama. Di desanya, pemuda-pemudi sanggup berkarya dan menghasilkan income yang cukup besar, begitupun di Bandung kata beliau, para pemuda disana ada yang merintis usaha sendiri walaupun orangtua mereka mapan.
- Narasumber pertama secara tidak langsung mengungkapkan ada perasaaan atau emosi yang lepas ketika tawuran dengan menolak bahwa ketika tawuran mempunyai kehendak untuk melukai.
- Kedua narasumber saat ini menyadari bahwa tawuran itu tidak ada manfaatnya dan itu sudah menjadi masa lalu. Sekarang bagi mereka adalah segera menyelesaikan kuliah, mencari pekerjaan, berhasil dan membahagiakan kedua orangtua mereka.
Pertanyaan berikutnya adalah sekarang apakah peran pemuda atau jika mau lebih tajam visi pemuda ke depan ? Apakah pemuda harus selalu membuat momen penting seperti Sumpah Pemuda atau 12 Mei 1998 ? ataukah berdemo secara brutal demi eksistensinya ? Sesungguhnya pertanyaan ini yang menjadi inti dari kegelisahan saya selama ini dalam menatap kaum muda di negeri ini.
Faktanya tampilan kaum muda di negara kita adalah hampir mendekati replika talkshow diatas. Coba tengok saja contoh sederhana, yang namanya Indonesia untuk memenangkan Olimpiade Ilmu Pengetahuan, seperti Fisika, Matematika, Kimia, Biologi, dll sekarang ini adalah hal yang biasa. Minimal satu medali dapat diraih putra-putri Indonesia, hebatnya yang terakhir di bidang Astronomi yang notabene tidak ada dalam mata pelajaran di sekolah. Itu prestasi di tingkat SMU ke bawah lho....lalu di tingkat Perguruan Tinggi ke atas ??? hilangkah ??? Paling-paling yang saya dengar hanya Choir kita yang cukup mumpuni...selain itu MAHA siswa kita kerap dituding bisanya hanya demo dan tawuran atau mungkin dugem.
Kenapa bisa begitu yah...? Saya juga bingung.... Jawabannya mungkin ada pada beberapa remaja yang berulang tahun di usia 17 tahun. Apa kata mereka ? Sederhana sekali...saya sudah bisa punya SIM dan KTP. Dengan kata lain mereka bilang saya sudah dewasa...bisa kemana saja !!! Saya menemukan sedikit terang disini. Logikanya ketika masih di tingkat SMU kebawah peranan orangtua dan guru masih terasa, sehingga remaja mempunyai ruang lingkup yang teramat sempit selain belajar. Yah...that it..BELAJAR. Ketika dia lepas dari masa remaja, diukur dari usia (17 tahun) atau memasuki masa kuliah maka tembok-temboknya mulai runtuh. Tidak ada lagi orangtua...tidak ada lagi guru....everything free...man
Bagi saya disinilah titik dimana orang mulai mencari jati diri. Interval antara 17 - 24 tahun (batas atas agak relatif) adalah masa lepas. Disini istilah dunia muda sering mengemuka..."kapan lagi mumpung masih muda....!!!". Jadi mulailah masa produktif yang dipaksakan semasa SMU pelan-pelan memudar walaupun tidak seluruhnya untuk beralih menjadi ekspresi kebebasan. Sampai dimana masa akan memaksa mereka kembali untuk menjadi produktif (biasanya dipengaruhi aspek ekonomi, usia dan lingkungan). Makanya jangan heran jika pada interval itu pemuda jarang mempunyai visi, tapi coba tanyalah soal ekspresi.
Nah...ekspresi itulah bagi saya yang sedikit banyak melatarbelakangi momen-momen penting diatas, mulai dari Sumpah Pemuda hingga Peristiwa 12 Mei. Kok begitu...??? Dari pengalaman hanya segelintir dari sekian banyak orang ditanya mengapa harus menjatuhkan Orde Baru ??? Jawabannya kebanyakan hanya berupa ekspresi....ekspresi idealisme atau ekspresi kebebasan. Kalaupun ada yang segelintir itu biasanya menjadi sasaran target operasi aparat :). Mereka umumnya visioner yang radikal dengan idealisme (baca polos) tingkat tinggi. Untuk menciptakan hal itu sama seperti snow ball atau bola salju anda cukup menggulirkan sedikit saja salju dari puncak gunung...maka yang lain akan ikut....bukankah begitu ???
Hal ini berbeda dengan kaum tua (tidak menyebut dewasa karena dewasa itu pilihan), ekspresi mereka hampir memudar dibayar dengan realistis kehidupan. Coba tengok politikus kita...sekarang ngomong A, bisa jadi besok bilang Z. Tergantung keadaan saja...tapi sebenarnya ini saya menyebutnya dengan visi masa depan (untuk pribadi tentunya).
Dari satu sisi saya melihat hal-hal diatas tadi....namun mencuplik pernyataan bahwa tidak di semua daerah sama, contohnya di desanya dia kaum mudanya produktif. Jawaban saya itu benar, tapi kita harus melihat dalam situasi kondisinya. Di daerah benar hal itu terjadi bahkan sejak usia remaja mereka sudah mulai berkarya (bekerja). Ini banyak dilatarbelakangi masalah kultur keluarga atau budaya setempat dan ekonomi. Sebagai contoh juragan beras di desa yang memiliki PO misalnya akan "memaksa anaknya" untuk meneruskan PO-nya tersebut atau keluarga buruh tani di desa terpaksa mengerahkan keluarganya untuk menggarap sebidang tanah. Kalau anda di kota besar Jakarta, Bandung, Surabaya dan Makassar anda tidak akan kesulitan menemukan yang namanya pengamen. Lagi-lagi ada faktor-faktor lain yang harus anda lirik bukan ???
So...bagaimana ??? Supaya referensi lebih banyak mari kita melirik ke dunia barat. Di dunia yang sering disebut kapitalis itulah sedikit petunjuk itu berada. Disana setelah high school, kaum mudanya sudah diwajibkan mandiri. Tidak terlepas keluarganya sudah mapan atau belum. It must be !!! Kaum mudanya dipaksa bukan dengan orangtua atau guru tapi dengan keadaan. Kalau anda perhatikan di film-film bertemakan anak muda seperti Madison, Heartbreak High, Dawson Creek atau Beverly Hills terdapat benang merah disana. Ada proses...ya proses mematangkan visi di setiap anak muda. Jadi di masa itu visi dan ekspresi anak berjalan bersamaan, di satu sisi anak muda ingin bebas namun disisi lain mereka harus bertanggungjawab akan hidupnya. Makanya jangan heran jika di film tersebut seringkali terjadi bentrokan antara orangtua dengan anaknya. Namun lihatlah akibatnya di interval yang sama dengan di Indonesia yaitu 17-24 tahun mereka dengan mantap sudah siap menantang hidup. Bahkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan keadaan antara di daerah dan kota seperti Indonesia tidak berlaku di sana. Film Heartbreak High merupakan film dengan latar belakang anak-anak berandalan di Australia sedangkan Beverly Hills diwarnai kehidupan orang kaya di negeri Paman Sam atau Madison yang berada di kehidupan kelompok sosial menengah.
Nah...kalo generasi tua banyak yang bilang tayangan dari dunia barat membawa dampak buruk...well...kita harus melihat dari sudut pandang mana dulu. Di satu sisi benar bahwa banyak dampak buruk dari sana. Namun di sisi lain saya cukup mengkritisi tingkah laku penghuni negeri ini sendiri. Maaf kalau agak kasar...menurut saya bangsa ini tidak mempunyai cukup saringan untuk menerima pengaruh luar. Terus terang bagi di luar negeri Indonesia adalah pasar yang paling potensial, tahu kenapa ? Bukan hanya karena penduduknya banyak tapi ini karena konsumtif tingkat tinggi dan trend maniak yang kebablasan. Jadi jelaslah kalau trend apapun yang berlaku di luar sana akan segera hadir dalam sekejap di negeri ini. Sehingga bagi saya benar apa yang dilakukan Ali Sadikin dengan melegalkan antara WTS atau Porkas (saya lupa) atau Gus Dur yang mencabut Tap MPR soal PKI. Prinsip beliau-beliau ini sangat praktis...Mereka tidak mau mendiskriminasi orang yang buruk untuk selalu menjadi yang paling menderita, tapi memberikan batas-batas dan hak setiap manusia. Jadi seakan-akan mereka bilang ini lho yang engga baik. Wong kalo jelas sudah engga cocok atau salah mbok ya jangan diikutin...Kesimpulannya apa ??? Lagi-lagi maafkan saya bangsa kita mudah dipengaruhi oleh trend. Jika udah jatuh korban gampang saja...abis gara-gara tayangan TV atau korban internet !!! Maka sekali-kali bertanyalah kepada diri kita.
Akhirnya kembali ke pengalaman saya sendiri dimana sering melihat ketiadaan visi atau tujuan dalam diri anak muda Indonesia. Ketika mereka ditanya apa itu sekolah ? Jawabannya sederhana karena disuruh orangtua atau melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Atau kenapa harus kuliah tidak kursus saja ? Mereka pun menjawab untuk mendapatkan gelar atau peluangnya lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan. Ketika mereka terpaksa bekerja mulai usia remaja hingga pemuda sebagai pengamen atau pemulung, mereka hanya menjawab harus mempertahankan hidup tanpa ada yang menamkan mereka bagaimana keluar dari situasi itu.
Dan ketika mereka telah mulai masuk dunia kerja selepas Perguruan Tinggi...jawabannya pun klise mengumpulkan uang untuk menikmati hidup.
Mungkin saya terlalu naif dalam menulis semua ini. Mungkin saja begitu tapi yang saya rasakan alangkah sayangnya jika kita melewati setiap masa hidup kita dengan keterpaksaan atau alasan memang seperti itulah masa muda atau bahkan hanya untuk senang-senang tanpa tahu apa yang telah saya perbuat di masa-masa hidup mulai kanak-kanak, remaja, pemuda, dan tua ada maknanya atau tidak. Saya kerap kali merasa iri kepada anak-anak muda yang memiliki visi hidup yang jelas, terlepas apakah profesi apa yang mereka tekuni. Ada teman perempuan yang melayani jauh di Kalimantan sana walaupun keluarga kurang menyetujuinya, ada yang masuk seminari di malam hari dengan sebelumnya bekerja pagi hari untuk membiayai kuliah tersebut, ada yang rela pontang-panting mengejar beasiswa di luar negeri yang tidak jelas dengan mengorbankan pekerjaannya serta seorang yang dengan pasti masuk sekolah theologia tanpa kepastian membayar dengan apa. Walaupun saya tidak bertanya kepada mereka apa yang menyebabkan hal tersebut, saya tahu ada visi sejati di dalam diri mereka...
Diperuntukkan buat anak-anak muda yang teguh berdiri diatas visi hidup mereka.
with respect,
0 comments:
Post a Comment