Tuesday, November 02, 2010

Profesimu Mempengaruhiku #1

9:17 AM 9/26/2009, ANTz wrote :

Waduh... perut lapar banget nih... Gue melirik jam dinding, sudah melewati pukul 8 malam. Biasanya jika sudah tidak ada pelanggan gue sudah memutuskan untuk pulang. Tapi kondisi menghendaki lain, masih ada pelanggan... bisa-bisa sampai jam 10-an nih... Tahan atau tidak yah ? Biasanya sih 1-2 jam gue tahan... tapi malam ini kayaknya tidak bisa. Tapi mau cari makanan dimana ? Hujan begini... mana petir masih berkilatan di langit sana... mana warteg terdekat belum buka karena masih mudik... Duh... gimana nih ? Jam dinding menunjukkan jam 8.30... ketika suara nyaring itu terdengar indah terdengar di telinga. Yup... tukang nasi goreng. Penjual mana lagi yang ditunggu saat perut lapar dan dingin seperti ini. Makanan apa lagi yang dicari untuk saat seperti itu yang cukup untuk "menendang" dan menghangatkan perut selain nasi goreng. Dari dalam gue memanggil tukang nasi goreng tersebut, gue segera keluar memesan sepiring nasi goreng untuk segera kembali ke dalam ruangan. Bukannya apa-apa, kalau air hujan masih bisa ditoleransi tapi petir tunggu dulu... Sambil menungggu gue tercenung akan profesi yang satu ini dalam kondisi saat itu. Dan akhirnya mengalirlah cerita mengenai profesi-profesi yang selama ini mengilhami diri gue dari sisi mereka masing-masing.

1. Tukang Nasi Goreng
Percaya atau tidak, kehadirannya lumayan ditunggu ketika malam menjelang. Sederhana memang, namun tukang nasi goreng menjadi solusi tepat pengisi perut yang "cukup menendang" di kala malam. Apalagi untuk perut-perut berukuran besar.... :). Ada cerita lucu yang membuat profesi ini menarik perhatian gue. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9.00 waktu gue tiba di rumah. Selama seminggu orangtua pergi ke luar kota, otomatis tidak tersedia makanan untuk mengisi perut. Maka gue bermaksud menunggu tukang nasi goreng lewat untuk memenuhi kebutuhan perut. Baru sejam kemudian yang ditunggu datang, ketika perut sudah tidak kuasa menahan lapar. Gue saat itu berada di lantai 2 rumah orang tua. Dari lantai 2 tersebutlah gue memanggil tukang nasi goreng tersebut. Wuaah... keburu lewat... Gue langsung segera berlari ke luar untuk mengejarnya. Bagaimana jika lewat jauh, bisa-bisa malam ini puasa sampai besok pagi. Mana di daerah sekitar rumah sulit mencari warung nasi jika sudah pukul 10 malam. Setelah melewati gerbang rumah dan sampai ke jalan baru terlihat tukang nasi goreng tersebut. Akhhh... untung masih kelihatan... Bang !!! sekali teriakan cukup baginya untuk memutar gerobaknya untuk menuju ke arah gue.

"Tadi dipanggil kok ga denger mas ?" gue langsung bertanya.
"Maaf, tadi saya cari-cari tapi orangnya tidak keliatan, jadi terus saja" katanya lugas.
"Ohh... maaf emang iya. Abis saya manggilnya dari atas (baca lantai 2)" jawab gue seraya menunjuk ke arah rumah.
"Oh.. pantas ga keliatan yah" katanya.
"Atau mas pikir bukan manusia yang manggil yah ?" tanya gue sambil bercanda.

Maka... setelah itu mengalirlah obrolan ringan sambil menunggu selesainya nasi goreng pesanan gue. Ternyata banyak cerita dibalik profesi seorang pedagang nasi goreng. Umumnya bercerita resiko apa saja yang mengiringinya setiap kali berjualan. Mulai gangguan mahkluk halus, resiko penyakit yang timbul, sepi konsumen, harga minyak goreng dan minyak tanah (sebelum menggunakan gas) hingga gangguan alam. Yang terakhir inilah ide mengapa gue menulis artikel ini.

Malam yang dingin saja sudah cukup menjadi resiko bagi profesi-profesi yang beroperasi malam hari terutama buat pedagang yang mendorong gerobak seperti nasi goreng ini. Apalagi ditambah bila hujan deras dan petir menyambar-nyambar. Namun hebatnya pengakuan dari pedagang ini menjadi kebalikannya. "Mas, kalau malam semakin dingin atau hujan seperti ini malah makin banyak orang butuh makanan, jadi disitulah rezeki kita. Mosok udah dikasih rezeki malah ditolak ???" Atau dengarlah jawaban ini dari pedagang nasi goreng lainnya : "Semua gangguan itu jangan diambil pusing mas, kita nrimo aja. Asal berkelakuan bersih, Insya Allah tidak ada yang bakalan mengganggu".

2. Pemulung
Kalau ditanya tentang profesi ini, gue akan sedikit tersenyum. Maklum sudah melekat sejak gue masih kanak-kanak. Yah... latar belakang keluarga PNS dan orangtua yang kelewat disiplin membuat kami kesulitan memperoleh uang jajan. Ketika itu, kami terpaksa memutar otak untuk mendapatkan sedikit uang, hanya sekedar menikmati jajanan khas anak-anak. Salah satunya mencari barang-barang bekas !!! Ha ha ha... ya... barang bekas... Namun bukan semua barang bekas, kami hanya memburu barang tertentu yaitu besi dan tembaga atau paling tidak kardus. Pada masa itu, barang-barang tersebut cukup bernilai tinggi dibandingkan plastik dan koran. Jadi ketika itu masa kecil gue pun sedikit dihiasi oleh pekerjaan ini, tentunya tidak sepenuh waktu :).

Memasuki usia 20-an, gue kembali bersentuhan dengan profesi ini. Sebenarnya itu dikarenakan karena gue sempat ikutan semacam kelompok anak muda yang bergerak di bidang sosial. Kami mengumpulkan dana dan menyalurkanya, sesederhana itu. Targetnya tidak jauh dari anak-anak jalanan, pengamen dan pemulung. Dan kini ketika kelompok tersebut sudah mati suri, gue pun masih bersinggungan dengan mereka, namun kali ini hanya sebagai pengamat. Mengamati dari balik kaca gelap, puluhan pemulung yang melintasi setiap hari di depan tempat gue. Tua, muda, anak-anak, wanita, pria, gemuk, kurus... semuanya komplit.

Dari sekian interaksi tersebut, ada hal-hal yang membuat gue kagum. Syarat terbesar pemulung adalah bahwa anda tidak boleh malu melakoni pekerjaan tersebut. Anggaplah orang lain tidak ada... begitulah kira-kira. Syarat lain yang harus diterima adalah siap dalam kondisi apapun, panas terik nan menyengat atau hujan dingin menyapu badan. Jangan lupakan bahwa mereka tidak mengenal kata kotor, tidak mengenal tanggal merah atau bahkan libur nasional MUNGKIN cuti bersama. Kalau menyambangi kediaman mereka, bersiaplah untuk keadaan yang tidak biasa, mulai dari bau menyengat, debu yang bertumpuk, karat disudut-sudut ruangan atau kursi yang sudah ringkih. Berikutnya apa yang dihadapi seorang pemulung, bersiaplah menghadapi sorot tajam pemilik tong sampah atau seperangkat tudingan pengambil barang orang (walaupun sejujurnya ada oknum pemulung melakukan hal tersebut).

Dua hal yang membuat gue semakin terpesona adalah pertama, setiap sore mereka pulang, semakin berat atau penuh karung yang dipikulnya semakin cerah raut muka mereka, padahal gue tau persis bagaimana beratnya memanggul karung dengan muatan penuh seperti itu. Dan ketika barang yang diperolehnya terlalu besar bagi seorang diri apa yang mereka lakukan ? Mereka pulang.. mengambil atau meminjam gerobak.. memanggil teman.. dan kembali kepada barang yang ditemukan tersebut. Hal kedua adalah peristiwa mengesankan yang gue alami. Suatu ketika pernah gue memberi satu plastik aqua yang sudah gue kumpulin kepada salah seorang pemulung yang gue perhatikan paling rajin. Tanggapannya sungguh mengesankan, bukan ucapan terimakasihnya namun gerak tubuhnya setiap kali gue berpapasan dengan pemulung tersebut di kemudian hari.
"Pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak". Gue rasa semut menjadi sosok yang tepat menggambarkan profil pemulung.


3. Aktivis Lingkungan
Gue lupa kapan tepatnya tertarik akan profesi ini. Yang jelas organisasi bernama Green Peace-lah yang membuat gue jatuh hati, yah... paling tidak 12 tahun yang lalu, sempat membuat gue memasukkannya sebagai salah satu pilihan selain pengacara bila melanjutkan kuliah. Visi dan misi penyelamatan bumi yang diekspresikan dengan serangkaian tindakan kelewat radikal di berbagai penjuru dunia membuat gue terpesona. Mereka tidak pernah peduli dengan penghalang APA yang mereka hadapi, DARIMANA asal penghalang dan SEBERAPA kuat penghalang itu. Tidak mengherankan jika perusahaan-perusahaan raksasa berskala internasional hingga negara-negara adi kuasa dibuat jeri atas ulah mereka. Di mana ada indikasi perusakan lingkungan dipastikan tulisan hijau muda "Green Peace" diatas media berwarna putih ada di lokasi tersebut.



Jadi ketika sekarang, warga dunia latah meneriakkan slogan "pemanasan global" dan melakukan serangkaian gerakan di berbagai belahan dunia, Green Peace sudah melakukannya jauh hari sebelumnya dengan slogan yang selalu melekat di dirinya. Bahkan yang membuat hati bergetar, ketika dalam sebuah peristiwa mereka menghalau sebuah kapal tanker minyak berukuran raksasa hanya dengan sebuah kapal kecil yang sangat kecil, laksana Daud versus Goliath. Belakangan gue baru tahu kalau kapal yang disebut sebagai Rainbow Warriors (Laskar Pelangi) tersebut menggunakan sumber daya yang semuanya alami dan dilengkapi standar teknologi lumayan canggih. Pantaslah Green Peace menjadi salah satu organisasi yang disegani, paling tidak apa yang diwacanakan telah dimulai dari diri mereka sendiri.

Dan sekarang pribadi-pribadi non profit pun turut membuat gue semakin menyegani profesi ini. Meninggalkan hiruk pikuk kota sekadar berada di penangkaran penyu, usaha kreatif daur ulang, pelestarian pulau Komodo, atau penyelamatan hutan bakau di pesisir pantai. Siapapun itu kita tahu, bahwa bumi ini semakin tua, eksploitasi tanpa memikirkan reservasi akan membunuh diri sendiri.


with respect,

:> ANTz

0 comments:


Post a Comment

 

blog RIGHT

This blog powered by:


Professional template designed by Rohman Abdul Manap
Banner header image and blog modified by antha.ginting

Creative Commons License
Based on a work at karput.blogspot.com,
all contents on this site are LICENSED under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License.

Please email to for copy
and distribute for commercial or non-commercial uses.

and also PROTECTED under:
MyFreeCopyright.com Registered & Protected
protected by Copyscape Online Plagiarism Detector
for detail see Disclaimer.

Thank you for visiting my blog, see ya..

my FRIENDS


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...