10:10 AM 1/24/2009, ANTz wrote :
"Kita seperti artis saja ya..." ucap seorang teman.
"Iya..." jawab gue pendek.
"Kita kemana pak ?" sapa pengemudi taksi.
"Ke arah Mampang pak !" gue berkata.
"Maaf, bapak 'halak kita' ya ?" gue segera menambahkannya dengan pertanyaan.
"Iya..." jawabnya datar.
"Hehehe..., wuah sama... kalau gitu kita ngobrolnya nanti saja ya pak, setelah mengantarkan teman ini." kata gue sambil tersenyum.
Entah kenapa setiap kali menggunakan jasa taksi, gue selalu segera berusaha mengidentifikasi pengemudinya. Kalau seorang diri, gue selalu duduk di samping pengemudi. Biasanya melirik tanda identitas yang terletak di dashboard. Dari situ biasanya cukup untuk mengenali siapa orang yang mengemudikan taksi tersebut. Photo, nama dan masa tugas, bagi gue, hanya menjadi bahan untuk memulai perbincangan, bukan untuk tujuan keamanan selama dalam perjalanan. Namun sayangnya dari sekian banyak 'merek' taksi di kota ini hanya segelintir yang tersedia tanda tersebut. Alhasil jurus berikutnya, apabila tanda tersebut tidak ada adalah raut muka & tata bicara sang pengemudi.
Hal tersebut yang gue lakukan saat itu. Karena duduk di belakang pengemudi maka aksennya ketika menyapa pertama kali itulah menjadi identifikasi pertama. "Hmm... 'halak kita' nih..." gumam gue dalam hati sebelum melontarkan pertanyaan diatas kepadanya. Halak kita adakah istilah yang dipergunakan rumpun suku Batak untuk menyebut sesamanya yang se-suku.
Selama perjalanan mengantar teman hingga kawasan Mampang, tidak ada perbincangan dengan bapak pengemudi tersebut. Barulah setelah mengantar teman, gue pindah duduk untuk pindah ke depan, di samping pengemudi. Nyaman... lumayan teman ngobrol selama di jalan :). Maka dimulailah perbincangan kami, awalnya hal-hal biasa saja, seperti tinggal dimana dan marga beliau. Sampai... akh... gue menanyakan hal yang sepertinya wajar namun sangat sensitif baginya.
"Bapak anaknya berapa, sepertinya seusia saya ya ?" gue bertanya.
Dengan rambut yang hampir memutih semua layak bapak sendiri, gue yakin anaknya akan seusia gue. Namun sungguh... sungguh... menakjubkan jawabannya.
"ANAK... TIDAK ADA ANAK !" gumamnya dingin.
Gue tersentak, pandangan gue yang asyik memandang lalu lintas malam, sesaat gue alihkan ke beliau. Matanya menyiratkan kepedihan... Kontur rahangnya menambah kesan itu seperti. Menggeram menahan beban.
"Mungkinkah bapak ini tidak menikah atau tidak dikaruniai anak ?" pertanyaan tersebut berkecamuk di pikiran gue ditambah perasaan bersalah atas pertanyaan tersebut.
"Oooh..." hanya itu yang keluar dari mulut gue.
Sesaat kemudian kami terdiam... hening...
"Narkoba..." lirihnya pelan.
"Akh... benda itu lagi..." gumam gue dalam hati.
"Maap, anak bapak sudah tiada ya ? tanya gue pelan.
"Iya..." lagi-lagi ia berkata lirih.
"Semua salah saya..." agak tercekat suaranya.
"Saya berpikir sudah banting tulang nyari duit seharian, untuk dia. Ternyata itu tidak cukup... saya salah" ujarnya.
idak lagi dingin & datar seperti di awal perbincangan kami. Tidak ada lagi kesan orang Medan yang mempunyai mitos berwatak keras. Semua sirna, yang tertinggal hanya sesosok orangtua yang sakit rindu, menggambarkan kepedihan yang sangat dalam.
Sayang saat itu, mood gue untuk 'menginterogasinya' langsung lenyap. Hal-hal seperti berapa jumlah anaknya, usia almarhum anaknya dan jenis kelamin almarhum anaknya tidak jadi gue tanyakan. Kepedihannya sangat kental terasa menyebabkan gue tidak sampai hati untuk bertanya lebih jauh. Namun dari kesan yang terpancar dari raut mukanya, jelas almarhum anaknya adalah seorang laki-laki dan mungkinkah sekaligus anak tertua ? Sebuah harapan orangtua bagi seorang anak laki-laki untuk meneruskan harapan keluarga.
Selanjutnya perbincangan kami bukanlah dalam bentuk tanya jawab, tapi ke arah membagi pengalaman. Gue berinisiatif mulai membagi sedikit pengalaman ketika bergaul dengan teman-teman pemakai dan beragam alasan mengapa mereka terjerumus ke dunia tersebut. Paling tidak, setelah itu perbincangan mengarah ke arah yang positif. Bapak itu mulai bercerita bagaimana cara dia menyikapi hidup di masa sisa hidupnya.
"Yah... beginilah... Seusia saya masih menyopir taksi tengah malam begini" katanya.
"Benar pak... Jujur ketika saya masuk tadi, ketika saya melihat bapak, saya langsung terikat bapak saya" gue berkata.
"Hebat... kayak bapak begini seharusnya di rumah, apalagi jam segini" gue melanjutkan kalimat yang terputus.
"Yah... Tapi saya harus cari makan. Dan saya masih memiliki seorang anak perempuan" jawabnya.
"Usia berapa pak ?" gue mulai memberanikan diri bertanya.
"Masih SMP..." jawabnya.
Akh... lengkap sudah apa yang dihadapi di sisa hidupnya. Tiada pilihan lain, bapak ini menjadi tiang penghidupan terakhir ketika anak laki-laki harapannya tiada tergerus narkoba. Sejuta asa di dada musnah dihantam gejolak anak muda.
Memasuki kawasan Fatmawati, gue merasa dia seperti orangtua sendiri, yang tak pantas di jalan. Berulang kali memastikan arah jalan kepada gue sebagai penumpang, menandakan ingatannya mulai berkurang. Akhirnya gue memutuskan untuk turun di jalan besar terakhir yang masih bisa diingatnya, itu hanya 5 menit berjalan kaki ke arah rumah. Karena akan menyulitkan baginya masuk ke gang-gang kecil, untuk kembali menemukan jalan utama :)
"Hidup saya sekarang adalah menjadi saksi". Itulah salah satu kalimatnya yang beberapa kali terucap dari bibirnya dan sampai sekarang sulit gue mengerti. Saksi apa dan bagi siapa ?
Yang jelas, hidup selalu menyisakan makna di setiap kedua sisinya; kepedihan dan keriaan. Terlepas mana yang lebih dominan. Setiap manusia memaknai hidupnya menurut apa yang dialaminya dan bagaimana kemudian ia menyikapinya. Dari sana akan terbit serangkaian pesan kehidupan. Uniknya, seringkali orang lain sulit memahaminya, yah... sulit... karena kita tidak mengalaminya ;)
Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan.
with respect,
:> ANTz
0 comments:
Post a Comment